- The Gecko Project bersama Mongabay, Korean Center for Investigative Journalism-Newstapa, dan Al Jazeera melakukan investigasi selama satu tahun untuk menelusuri aliran pembayaran dana konsultasi sebesar AS$22 juta yang berhubungan dengan kesepakatan lahan di Provinsi Papua, Indonesia.
- Lika-liku itu membawa kami menelusuri berbagai hal di Korea Selatan, Singapura, hingga hutan belantara di Papua untuk menemukan dalih di balik transaksi tersebut terhadap pertumbuhan Korindo Group sebagai perusahaan sawit dengan luasan konsesi yang terbesar di Papua.
- Foto oleh Albertus Vembrianto.
Bagian 1: ‘Mereka mungkin tak menyangka kami akan menemukannya’
Pada April 2019 lalu, seorang advokat pro-lingkungan yang berasal dari Indonesia, maju ke atas podium sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh organisasi kepolisian internasional Interpol di markas besar mereka di Singapura. Di antara para peserta pada pertemuan tersebut, hadir pula puluhan aparat penegak hukum dari berbagai penjuru dunia yang bergabung untuk mendalami soal keterhubungan kejahatan keuangan, korupsi, dan pengrusakan hutan yang tengah terjadi di wilayah Asia Pasifik.
Ketertarikan Interpol terhadap kejahatan di sektor kehutanan, dipicu oleh kalkulasi Bank Dunia terkait kehilangan potensi pendapatan pajak negara-negara berkembang yang mencapai miliaran dolar akibat maraknya perdagangan kayu ilegal setiap tahunnya. Kalangan penegak hukum pun semakin mengakui bahwa lokasi kejadian perkara tersebut tak terbatas hanya berada di kawasan hutan. Tetapi, tersembunyi di balik tirai yang terselubung pada sistem keuangan global di mana proses pencucian uang dan suap juga dimungkinkan untuk terjadi.
Perempuan yang berasal dari LSM lingkungan dan HAM itu, memaparkan kepada para peserta yang hadir dengan menyinggung transaksi mencurigakan yang telah dilakukan oleh perusahaan besar. Ia menolak menyebutkan nama pada paparannya, tapi besaran transaksi tersebut punya nilai sebesar AS$22 juta. Dalam laporan keuangan perusahaan, transaksi itu ditulis sebagai “biaya konsultasi” yang dibayarkan kepada seorang ahli tak bernama yang telah membantu perolehan hak-hak untuk pengembangan perkebunan sawit yang begitu luas di Provinsi Papua.
Transaksi tersebut sedikit janggal. Ia menjelaskan kalau proses perizinan untuk perkebunan sebetulnya tidak memiliki biaya resmi yang nilainya signifikan di Indonesia. Akan tetapi, oknum pejabat pemerintah yang memimpin sektor tersebut memang dikenal punya kecenderungan korupsi.
Faktanya, ucapnya, pembayaran semacam itu mengandung tipu muslihat yang umum diterapkan dalam skema korupsi transnasional. “Konsultan palsu” sengaja digunakan untuk bisa mengucurkan dana jutaan dolar kepada para oknum yang duduk di pemerintahan dengan imbal jasa berupa rangkaian kontrak atau izin. Apakah “konsultan” tersebut tak lain adalah perantara suap yang alirannya masuk ke kantong-kantong pejabat maupun politisi Indonesia?
“Mereka mungkin tak menyangka (bahwa) kami akan menemukannya,” kata delegasi yang menolak untuk disebutkan namanya itu pada kami. “Saya pikir mereka ceroboh.”
Perusahaan yang dimaksud itu adalah Korindo Group, sebuah konglomerat milik pribadi yang dikenal rajin menebangi hutan di berbagai wilayah di Indonesia sejak 1970-an. Pembayaran untuk “biaya konsultasi” itu dilakukan pada suatu jeda di mana kemudian mereka dapat dengan cepat memperluas operasinya di Papua. Pada rentang tahun 2009 dan 2014, melalui kesepakatan tersebut serta sejumlah izin dari pemerintah yang mereka urus sendiri secara langsung, Korindo memperoleh hak atas lahan seluas sekitar dua kali wilayah Seoul sebagai ibu kota negara Korea Selatan.
Ketika produsen sawit besar lainnya yang berjanji untuk berhenti menebangi hutan atas tekanan dari para pembeli minyak sawit yang memperhatikan dampak lingkungan, Korindo Group malah mengambil jalan yang berbeda. Sejak 2013, mereka sudah membabat kawasan dengan cakupan yang lebih luas dari daratan Kota Makassar, tepatnya 25 ribu hektar hutan di Papua yang menjadi salah satu ekosistem terpenting di dunia bagi beragam flora dan fauna.
Korindo Group memberi keterangan yang berubah-ubah terkait dengan pembayaran yang telah mereka lakukan itu. Ketika ditanya tentang hal tersebut pada awal tahun 2020, mereka awalnya mengatakan bahwa pembayaran itu bukanlah biaya konsultasi, melainkan bagian dari pembelian saham dari seorang pria bernama Kim Nam Ku yang telah menjual perusahaan cangkang pemegang izin konsesi perkebunan kepada Korindo Group. Korindo Group mengungkapkan bahwa Kim — dengan alasan yang hanya bisa ia jelaskan sendiri — memilih transaksi itu sebagai biaya konsultasi.
Selama tahun 2019 dan 2020, The Gecko Project dan Mongabay — berkolaborasi dengan Korean Center for Investigative Journalism-Newstapa dan Program 101 East sebagai seri film dokumenter Al Jazeera tentang berita Asia-Pasifik — telah menyelidiki seluk beluk dari pembayaran itu dan keterkaitannya dengan ekspansi Korindo Group di Papua.
Kami meninjau berbagai dokumen perusahaan, laporan keuangan, dan rangkaian izin dalam sepuluh tahun terakhir untuk mengecek bagaimana Korindo Group dapat memperluas cakupan lahannya. Kami juga menelusuri struktur kepemilikan perusahaan yang kompleks, mulai dari Indonesia, Singapura, sampai ke beberapa kawasan suaka pajak (tax haven) untuk menyibak tirai terhadap bagaimana mereka menyebarkan teknik terkait kerahasiaan perusahaan (corporate secrecy) untuk bersembunyi dari pengawasan terhadap aspek-aspek utama bisnis mereka.
Kami pergi ke Papua untuk mengikuti jejak Kim Nam Ku dan mencari tahu apa yang telah ia lakukan di salah satu daerah paling timur di Indonesia. Kami menelusuri pengalaman kerja pria Korea itu di hutan Papua sejak pertengahan tahun 2000-an melalui wawancara dengan mantan koleganya, penelusuran dokumen, dan sejumlah foto. Sebelum terlibat dalam kesepakatan bernilai puluhan juta dolar dengan Korindo Group, Kim pernah gagal dalam upaya mendirikan proyek perkebunan raksasa di Madagaskar.
Kini, Korindo Group menjadi pemegang konsesi terbesar di Papua. Korindo Group juga memainkan banyak fungsi yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah di kawasan yang terbilang paling terabaikan dan kerap diawasi oleh militer. Kami menaksir sejak awal tahun 2000-an, Korindo Group telah meraup untung dari ekspor kayu pada proses pembersihan lahan perkebunan di provinsi itu dengan nilai mencapai AS$320 juta. Tetapi, menurut masyarakat asli Papua yang kami wawancarai, mengatakan bahwa Korindo tidak menepati janji dalam meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, baik lewat ketersediaan lapangan pekerjaan maupun pembangunan. Di sana, kami justru menemui banyak kasus gizi buruk, sementara itu perusahaan meraup laba berpuluh-puluh juta dolar setiap tahun dari sawit yang tumbuh di Bumi Papua.
Kami meminta kepada sepuluh ahli antikorupsi, termasuk mantan pejabat pemerintah dari Amerika Serikat (AS) yang memiliki pengalaman dalam menyelidiki skema korupsi transnasional, untuk meninjau temuan kami terhadap pembayaran biaya konsultasi pada Korindo Group serta informasi terkait lainnya. Para pakar berpendapat bahwa mustahil untuk memastikan apakah hal tersebut telah dipakai untuk pembiayaan suap tanpa menggunakan kewenangan yang terdapat pada lembaga-lembaga pemerintah yang ada. Tetapi, mereka menyebutkan kalau transaksi tersebut amat mirip dengan tipologi kasus-kasus suap yang melibatkan berbagai konsultan. Mereka menegaskan bahwa jumlah dana yang begitu besar, banyaknya celah korupsi di Indonesia, penjelasan dari pihak perusahaan yang tidak konsisten, serta berbagai “lampu merah” lain yang terhubung dengan hal tersebut, dapat menjadi bukti bahwa pembayaran biaya konsultan tersebut seharusnya diselidiki lebih lanjut oleh penegak hukum.
“Apakah perusahaan menutup mata pada kemungkinan bahwa ‘ahli’ tersebut telah mengucurkan uang suap dalam jumlah yang besar kepada para pejabat dan tokoh masyarakat?” ujar Bruce Searby, mantan pengacara Departemen Kehakiman AS yang pernah memperkarakan kasus korupsi transnasional.
“Apakah perusahaan menutup mata pada kemungkinan bahwa ‘ahli’ tersebut telah mengucurkan uang suap dalam jumlah yang besar kepada para pejabat dan tokoh masyarakat?”
Korindo Group tentu membantah melakukan suap. Pada surat bertanggal 1 Juni 2020, kepala bagian hukum perusahaan tersebut mengatakan bahwa temuan kami, terutama soal dugaan suap, “sepenuhnya tidak benar dan palsu.” Korindo Group menegaskan bahwa perkebunan mereka telah memberikan manfaat bagi masyarakat asli Papua dengan menyediakan lapangan pekerjaan, fasilitas pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Mereka juga mengaku mengalami kerugian terhadap proses penjualan kayu yang diperoleh dari lahan perkebunan mereka.
Berbagai konglomerat yang memindahkan dana melalui sejumlah offshore company atau perusahaan lepas pantai dan secrecy jurisdictions (tempat-tempat di mana identitas para pemegang saham maupun pemilik sebenarnya dari perusahaan itu tak dapat ditelusuri) dan wilayah hukum yang mengabsahkan kerahasiaan bagi perusahaan, merupakan suatu tantangan bagi aparat penegak hukum yang terikat aturan pada batas-batas negara. Pembayaran yang dilakukan Korindo Group tersebut mungkin tidak pernah masuk Indonesia, melainkan bisa saja berada di luar jangkauan dari peraturan yang ada di Indonesia.
Namun, ada kemungkinan bahwa pembayaran telah dilakukan melalui sistem perbankan tertentu di Singapura dan AS yang tak lain adalah negara-negara yang dapat melacak suatu transaksi atas permintaan pihak yang berwenang di Indonesia. Sejumlah lembaga di AS bahkan memiliki pengalaman dalam membantu mitra asing mereka dalam melakukan penyelidikan keuangan transnasional yang begitu rumit kompleks. Mereka juga dapat beroperasi berdasarkan peraturan yang memberi mereka kewenangan yang luas untuk mencari bukti ke berbagai penjuru dunia.
Mantan pejabat-pejabat dari Biro Investigasi Federal (FBI) dan Departemen Kehakiman di AS memberi tahu kami bahwa aparat penegak hukum harus menyelidiki transaksi tersebut. Sebab, mereka bilang itu bukan sekadar uang senilai AS$22 juta, melainkan pula soal kerusakan lingkungan di Papua dan dampaknya terhadap masyarakat adat dan hutan yang tengah dipertaruhkan.
Titik awal untuk menelusuri kasus tersebut sesungguhnya dapat amat sederhana. Maka, dengan mengecek catatan pada buku bank dan mengikuti aliran dana yang masuk lewat sistem keuangan global, mereka mungkin dapat menemukan jawaban atas sebuah pertanyaan: ke mana uang tersebut mengalir?
Bagian 2: Konglomerasi chaebol
Seung Eun-ho, pendiri Korindo Group, telah menceritakan asal-usul perusahaannya berkali-kali. Tahun 1975, ia bekerja di Indonesia untuk bisnis kayu ayahnya ketika krisis melanda keluarganya. Ayahnya, Seung Sang-bae, ditangkap di negara asalnya di Korea Selatan atas tuduhan penggelapan pajak. Aset-aset perusahaannya ikut disita.
Seung muda datang ke Indonesia beberapa tahun lebih awal untuk mencari bahan baku industri. Seung menceritakan kalau masa depan tampaknya begitu suram kala itu mengingat kebangkrutan ayahnya: “Yang saya punya cuma izin penebangan kayu.” Seung meminjam uang sebesar AS$1 juta dari kenalannya yang adalah seorang eksekutif di sebuah perusahaan kayu Jepang. Ia menginvestasikan modal tersebut ke dalam alat-alat penebangan.
Bisnis barunya yang bernama Korindo Group, berkembang pesat dan ia mampu melunasi hutangnya hanya dalam waktu empat tahun. Lalu, empat dekade kemudian, ia dan putranya, Robert Seung, memimpin kerajaan bisnis yang bermacam-macam dengan laporan pendapatan mencapai lebih dari AS$1 miliar setiap tahun. Sementara pada tahun-tahun sebelumnya, Korindo telah memperluas operasi penebangannya ke berbagai kawasan di Indonesia. Mereka membangun pabrik kayu (sawmill) berskala raksasa serta membangun perkebunan tanaman industri dan sawit. Bisnis mereka pun merambah ke konstruksi, kertas, dan ekspedisi. Hal itu memposisikan Seung Eun-ho kemudian ke dalam jajaran orang-orang paling kaya di dunia.
Dengan sorotan yang gemilang dari media massa di Korea Selatan, Seung yang kini berusia di akhir 70an, gemar meluapkan kisah-kisah yang pernah ia alami dengan masyarakat pinggiran di berbagai tempat di Indonesia, seperti cerita tentang pekerja Madura di Kalimantan yang mengancam hendak membunuh seorang pekerja Korea Selatan setelah salah satu kawan mereka tewas akibat kecelakaan mobil serta penculikan manajer perusahaan oleh kelompok separatis Papua yang menuntut uang tebusan sebesar AS$2 miliar. Untuk kasus di Papua, ia secara pribadi turun tangan untuk menjamin pembebasan lelaki yang ditangkap tersebut. “Mereka tak memiliki konsep uang,” kata Seung merujuk pada sosok para pemberontak itu. “Jadi, saya memberi rokok dan gula pada pimpinan mereka. Akhirnya, itu selesai dengan uang AS$2 ribu.”
Sementara Seung menyatakan dirinya sebagai pendiri dan pimpinan dari Korindo Group, upaya untuk membongkar pemilik saham di berbagai perusahaan yang memayunginya, terkesan amat mustahil hingga belakangan hal tersebut terbongkar juga. Nama-nama pemegang saham untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia, sudah tersedia untuk diakses publik melaluidatabase pemerintah. Di sana, terungkap bahwa perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnis perkebunan dan konsesi-konsesi penebangan milik Korindo Group, ternyata dimiliki oleh sejumlah korporasi berbeda yang pada gilirannya kembali jatuh pada perusahaan-perusahaan itu lagi.
Jika kita mengikuti urutan daftar para pemegang saham sejauh ini, maka hal itu akan tampak perputarannya yang kelak bertemu di titik yang sama. Terkadang, pergerakannya terjadi berkali-kali. Perusahaan-perusahaan tersebut secara efektif memiliki saham mereka sendiri melalui apa yang disebut dengan kepemilikan saham sirkuler (circular shareholdings). Untuk mencari tahu siapa yang sebetulnya memiliki perusahaan yang terhubung dengan Korindo Group, seperti kita tengah melakukan penelusuran di dalam goa yang gelap. Siapa pun dapat tersesat memasuki cerug-cerug di dalamnya. Pada akhirnya, titik itu malah berujung pada perusahaan yang terdapat di suaka pajak di mana berbagai perusahaan cangkang (shell company) terselubung oleh hukum kerahasiaan perusahaan.
Ketika urusan Seung diselidiki oleh otoritas pajak Korea Selatan tahun 2013, terungkap bahwa struktur Korindo Group memang dibangun dengan amat hati-hati yang menyamarkan tangan-tangan Seung dalam melakukan kendali terhadap seluruh perusahaan. Pihak berwenang di sana menemukan bahwa Seung sedikitnya telah mendirikan 62 perusahaan cangkang di Kepulauan Virgin Inggris, Hong Kong, Panama, Seiselensa, Singapura, dan lain-lain yang secara kolektif memiliki aset-aset Korindo Group di Indonesia melalui kepemilikan saham sirkuler.
Menurut keputusan pengadilan Korea Selatan, para pemegang saham dan direktur perusahaan-perusahaan tersebut ternyata hanya berupa nama yang dipinjam untuk ditulis di atas kertas atau dikenal sebagai pemegang saham dan direktur nominee. Sementara lainnya, terdapat sejumlah perusahaan secretarial firm (entitas yang memberikan layanan kesekretariatan bagi suatu bisnis) yang memiliki fungsi sebagai kedok untuk menyembunyikan orang-orang yang mengendalikan berbagai perusahaan itu.
Jajaran direksi, kepemilikan saham, dan rekening bank terdaftar dengan nama-nama yang mereka pinjam. Namun, seperti yang diungkap oleh pengadilan di Korea Selatan, seluruhnya berada di bawah kendali Seung dan bekerja untuk meraup keuntungan bagi dirinya sendiri. Tahun 2018, pengadilan memerintahkannya untuk membayar pajak yang belum ia bayarkan dengan nilai mencapai sekitar AS$90 juta. Ia kemudian sempat menyangkal dengan dalih kalau ia merupakan warga negara Indonesia untuk urusan perpajakan. Ia pun telah mengajukan banding. Pengadilan memutuskan bahwa penggunaan struktur perusahaan yang kompleks dan berlapis-lapis serta pemegang saham nominee, bertujuan untuk menghindari pajak.
Petunjuk lain mengapa Seung menerapkan metode tersebut, terletak pada pengembangan yang unik terkait tata kelola perusahaan di negara kelahirannya. Kepemilikan saham sirkuler adalah kunci dari berbagai perusahaan besar milik keluarga yang mendominasi ekonomi Korea Selatan. Mereka dikenal dengan sebutan chaebol. Chaebol menjelma kekuatan pendorong bagi pesatnya pertumbuhan ekonomi nasional dan berhasil mengubah wajah Negeri Ginseng itu dari masyarakat agraris yang miskin menjadi pusat manufaktur berteknologi tinggi di dunia. Namun, mereka juga kian berkembang besar hingga mampu melakukan kontrol atas politik. Seringkali, hal itu dilakukan demi kepentingan mereka semata. Kekhawatiran terhadap situasi tersebut kemudian menimbulkan letusan berbagai skandal korupsi yang memuncak pada 2017 lalu. Saat itu, pewaris raksasa elektronik Samsung dihukum karena menyuap seorang mantan presiden.
“Petinggi chaebol itu bagai dewa. Dia orang yang tidak bisa disentuh di perusahaan dan mereka pun jarang memegang tanggung jawab penuh atas keputusan yang telah mereka buat.”
Menurut Geoffrey Cain, seorang jurnalis yang tahun 2020 lalu menerbitkan buku tentang Samsung, chaebol menyebarkan kepemilikan saham sirkuler ke dalam suatu bagian sebab mereka memungkinkan keluarga pendiri untuk mengendalikan perusahaan-perusahaan mereka secara langsung tanpa terlihat kalau mereka sedang melakukannya. Struktur tersebut menumpulkan akuntabilitas yang ada di dalam sebuah struktur perusahaan pada umumnya, sehingga membiasakan para pendiri untuk bisa berperilaku seenak mereka. Lalu, ketika terjadi kasus, Geoffrey memberi tahu kami, “maka para pejabat atau eksekutif perusahaan yang secara legal menjalankan perusahaan, akan terseret pada masalah. Sementara keluarga pendiri perusahaan, nyaris tidak menanggung apa pun.”
“Petinggi chaebol itu bagai dewa,” tambahnya. “Dia orang yang tidak bisa disentuh di perusahaan dan mereka pun jarang memegang tanggung jawab penuh atas keputusan yang telah mereka buat.”
Korindo Group menggunakan pendekatan bebas terhadap kepemilikan saham sirkuler saat perusahaan tersebut berada pada tahapan ekspansi yang terjadi begitu cepat di Papua. Izin-izin di berbagai kawasan diperoleh langsung dari pemerintah melalui tiga perusahaan yang didirikan di Indonesia. Kepemilikan ketiga perusahaan tersebut terhubung pada jejaring yang amat rumit dengan perusahaan-perusahaan lain, baik itu yang berada di dalam maupun di luar Indonesia, termasuk Singapura dan Kepulauan Virgin Inggris.
Tetapi, Korindo Group telah melakukan hal yang berbeda hanya untuk sebuah konsesi. Perlakukan khusus itu dilakukan terhadap sebuah perusahaan yang diakuisisi pada 2013 lalu, yakni PT Papua Agro Lestari (PAL). Menurut pihak Korindo Group, itu sudah dengan sepaket izin yang telah lengkap. Korindo Group juga mengatakan bahwa mereka telah mengambil alih PT PAL dalam suatu kesepakatan kepemilikan saham yang langsung dari Kim Nam Ku. Potret yang sebenarnya, seperti halnya kebanyakan bisnis Korindo Group yang memiliki kerumitan amat kompleks.
Bagian 3: Suatu kesepakatan
Dokumen publik Korindo Group di Singapura memberikan petunjuk yang menjelaskan pada bagaimana konglomerat itu mengakuisisi PT PAL. Pada Maret 2013, keluarga Seung mendirikan perusahaan cangkang di sana dengan nama Papua Agro Investments Pte Ltd (PAI). Putra Seung Eun-ho, Robert, terdaftar sebagai direktur. Setelahnya, melalui penggunaan dana investasi secara tunai dari salah satu perusahaan di bawah Korindo Group di Kepulauan Virgin Inggris, PAI membeli saham mayoritas PT PAL senilai AS$1,5 juta. PT PAL sendiri tak lain adalah pemegang beberapa dari serangkaian izin yang diperlukan terhadap pembangunan perkebunan sawit di atas hutan primer seluas sekitar 32 ribu hektar.
Di tahun yang sama, PAI mengeluarkan dana lagi sebesar AS$21,4 juta sebagai “biaya konsultasi”. Menurut laporan keuangan mereka, pembayaran tersebut ditujukan pada seorang “ahli untuk mendapatkan hak-hak dan pembangunan proyek.” Cicilan tambahan selanjutnya dibayarkan untuk tujuan yang sama tahun 2015 dengan nilai sebesar AS$500 ribu. Sehingga, total uang yang mereka keluarkan untuk jasa sang konsultan itu mencapai hampir AS$22 juta.
Tahun 2018, dua organisasi non-pemerintah dari Indonesia dan AS melakukan penyelidikan terhadap keuangan Korindo Group. Mereka menemukan adanya pembayaran jasa konsultasi yang janggal. Kedua organisasi itu juga menulis surat kepada pihak Korindo Group ketika mereka tengah mempersiapkan penerbitan laporan terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh operasi perusahaan. Menyinggung tentang ketidakwajaran biaya jasa tersebut, mereka pun mempertanyakan apa yang telah dilakukan sang konsultan dengan bayaran setinggi itu sebab di Indonesia tak ada biaya resmi untuk memperoleh izin.
Pihak Korindo Group menanggapi hal tersebut lewat surat balasan yang menjelaskan bahwa kesepakatan itu telah dibuat sesuai permintaan “pihak penjual saham” dari PT PAL yang mempunyai “tanggung jawab” terkait konsultan itu. Pihak Korindo Group juga mengungkapkan total biaya perusahaan sebagai suatu refleksi dari nilai PT PAL dan mereka telah setuju untuk membayarnya sebagai bagian dari kesepakatan, termasuk di dalamnya adalah biaya konsultasi. “PAI tidak berkewajiban untuk menyelidiki secara detail terkait dengan hak dan kewajiban antara pihak penjual dan konsultan,” kata pihak Korindo Group pada suratnya dengan mengacu pada anak perusahaannya di Singapura. “Selama pembayaran tersebut legal dan tidak merugikan siapa pun, pihak PAI merasa itu hal yang dapat menerima untuk melakukan total pembayaran dengan cara yang diminta oleh pihak penjual.”
Berbagai perusahaan besar seringkali menyewa konsultan untuk hal-hal yang wajar, terutama ketika pihak korporasi hendak melakukan investasi di tempat yang belum dikenal. Namun, kehadiran para “konsultan” kerap memang ada pada kasus-kasus besar terkait korupsi di seluruh dunia.
Pada tahun 2019 misalnya, Ericsson sebagai raksasa telekomunikasi asal Swedia, dihukum oleh Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat atas keterlibatan mereka dalam skema suap berskala besar lewat konsultan palsu. Secara diam-diam, mereka menyalurkan uang kepada pejabat pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ericsson akhirnya harus membayar denda lebih dari AS$1 miliar kepada pihak yang berwenang di AS.
“Ada sejumlah kasus suap di mana kehadiran seorang ‘konsultan’ menjadi semacam kamuflase yang ditulis di dalam laporan keuangan selayaknya perantara atau makelar untuk pejabat-pejabat korup,” kata Bruce Searby, mantan jaksa pada Departemen Kehakiman di AS. “Sejujurnya, ini cara lama untuk mengatakannya demikian. Asalnya dari masa maupun tempat dengan budaya impunitas, sehingga memang tak perlu terlalu kreatif dengan bagaimana mereka hendak disebut.”
Bagi para pakar antikorupsi yang telah kami minta untuk meninjau pembayaran tersebut, berpendapat bahwa nilai yang begitu besar dari transaksi itu bisa jadi menandakan suatu lampu merah. Kontrak dengan nilai yang begitu besar di mana terdapat alokasi mencapai jutaan dolar hanya untuk jasa yang tidak masuk akal, merupakan hal yang kerap terjadi dalam kasus korupsi yang melibatkan konsultan palsu. “Ketika Anda melihat adanya pembayaran biaya konsultasi yang tidak bisa dijelaskan, maka Anda seharusnya bertanya-tanya itu untuk apa, selain sekadar membayar keahlian,” kata Bruce.
Dalam laporan keuangannya, Korindo Group mengutarakan bahwa biaya konsultasi itu dibayarkan untuk suatu keahlian terkait dengan peroleh izin-izin. Namun, pada saat pembayaran dilakukan, faktanya Korindo Group sendiri sudah memiliki pengalaman puluhan tahun melakukan hal tersebut. Pada periode yang sama saat PT PAL mendapatkan serangkaian izin atas sebuah konsesi perkebunan, tiga anak perusahaan Korindo Group telah mendapatkan sejumlah izin yang sama untuk empat proyek di Papua, antara lain di Boven Digoel dan Merauke.
Debra LaPrevotte, mantan agen khusus Biro Investigasi Federal AS (Federal Bureau Investigation, atau FBI) yang menyelidiki skema korupsi transnasional bernilai jutaan dolar dan melibatkan negara-negara seperti Ukraina, Nigeria, dan Bangladesh, mengatakan bahwa terdapat kecurigaan untuk menelusuri jejak Korindo Group dalam memperoleh izin-izin. “Ini menyimpang dari norma,” katanya menyinggung soal pembayaran jasa konsultasi. “Jika sebelumnya mereka telah mendapat izin yang lain tanpa menggunakan jasa seorang konsultan, lantas mengapa kemudian kali ini mereka harus membayar AS$22 juta untuk seorang konsultan?” Ia menambahkan, “Tampaknya, itu jumlah yang begitu fantastis.”
“Tampaknya, itu jumlah yang begitu fantastis.”
Potensi terhadap adanya pembiayaan dalam jumlah yang dialihkan untuk membayar suap pada bisnis di sektor sumber daya alam Indonesia, memang begitu tampak nyata. Investigasi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menunjukkan bahwa suap dapat ditemukan di setiap tahap proses perizinan. Salah satu contoh dari situasi tersebut terlihat dari investigasi melalui penyadapan telepon tahun 2012 lalu di mana seorang miliarder sekaligus elit partai politik, Sri Hartati Murdaya, ditangkap karena telah mengatur suap Bupati Buol Amran Batalipu di Sulawesi Tengah, untuk pengurusan izin bagi perusahaan perkebunan sawit miliknya.
Survei KPK tahun 2015 memperlihatkan bahwa hampir setengah dari calon kepala daerah yang maju dalam pertarungan Pilkada pada tahun itu, pernah ditawari dana kampanye oleh para pengusaha dengan imbalan berupa izin-izin seandainya mereka menang nanti. “Jika Anda berada pada situasi seperti itu, Anda pun sudah tahu risikonya,” ucap Richard Bistrong, CEO Front-line Anti-Bribery LLC — sebuah organisasi yang memberikan dukungan bagi perusahaan untuk menghindari korupsi.
Namun, ketika tahun ini kami menanyakan kepada Korindo Group terkait dengan transaksi senilai AS$22 juta itu, jawabannya kemudian berubah. Mereka mengatakan kalau dana itu tidak diberikan kepada seorang konsultan, melainkan untuk apa yang mereka istilahkan dengan “pemilik de facto” dari PT PAL ketika perusahaan itu diakuisisi oleh Korindo Group. Uang tersebut dikatakan sebagai pembayaran atas saham milik lelaki bernama Kim Nam Ku.
Maka, dengan kata lain, “biaya konsultasi” itu bukan untuk jasa konsultasi. Pada surat bertanggal 9 Mei 2020, Managing Director Korindo Group Seo Jeongsik mendeskripsikannya sebagai “sebuah transaksi pembelian saham secara langsung” yang dibayarkan sesuai harga pasar. Ia bilang Kim telah mendapatkan uang yang mereka bayarkan kepadanya dengan mengambil alih PT PAL melalui suatu “proses peraturan yang panjang dan kompleks.”
Lantas, mengapa Korindo Group bisa sampai salah menuliskan pembayaran saham sebagai “biaya konsultasi” pada laporan keuangan yang diberikan kepada pihak otoritas Singapura? Menurut Seo, hal disebabkan karena Kim menginginkannya ditulis seperti itu untuk alasan yang hanya dapat dijelaskan oleh Kim sendiri. Seo mengatakan bahwa pihak Korindo Group “tidak memiliki kepentingan dengan bagaimana transaksi tersebut hendak dituliskan terkait dengan pembayaran yang dilakukan.”
Pengakuan Seo yang mengatakan pihak Korindo Group tak memiliki kepentingan terhadap bagaimana transaksi itu hendak dicatatkan, justru memunculkan lebih banyak pertanyaan. Seorang pengacara Singapura yang kami minta untuk meninjau hal tersebut, mengutarakan bahwa jika terdapat pihak yang terbukti secara sengaja membuat atau mengizinkan pernyataan palsu atau menyesatkan pada laporan audit keuangan, — mengacu pada Undang-Undang tentang Perusahaan di Singapura itu — maka hukumannya adalah penjara hingga dua tahun. Sebagai seorang direktur dari PAI, Robert Seung, bertanggung jawab atas hal itu. Dalam suratnya bertanggal 20 Mei 2020, Seo membantah kalau pihak Korindo Group maupun Robert Seung dikatakan telah melanggar hukum.
Sementara itu, kejanggalan lain justru muncul dari penjelasan tersebut. Pihak Korindo Group memberi tahu kami bahwa mereka sudah membeli PT PAL dari Kim. Tetapi, saat pembayaran itu dilakukan, Kim malah tidak memiliki saham di sana. Menurut dokumen perusahaan, saham Kim telah dialihkan pada 2009 lalu kepada seorang pria asal Seoul, Korea Selatan bernama Seo Haeng Won.
Masih mengacu pada dokumen perusahaan, tercatat bahwa Seo Haeng Wong beralamat di Apartemen Taman Raja di Jakarta Selatan. Begitu pula dengan Seung Eun-ho, putranya Robert, dan belasan direktur perusahaan-perusahaan yang berada di bawah Korindo Group. Setidaknya salah satu tetangga Seo Haeng Won yang bertempat tinggal di lokasi eksklusif tersebut, telah digunakan oleh Seung Eun-ho sebagai pemegang saham nominee (nama-nama nominee lainnya telah dirahasiakan dalam putusan pengadilan kasus pajak Seung).
Lewat penelusuran terhadap berbagai dokumen perusahaan lain milik Korindo Group, kami pun menemukan bahwa Seo Haeng Won pernah didaftarkan menjadi direktur atau komisaris di tiga perusahaan lain milik Korindo Group selama beberapa tahun sebelum akuisisi PT PAL dilakukan. Dengan mempertimbangkan jam terbang Seung dalam menggunakan para pemegang saham nominee, bisa saja sesungguhnya kehadiran Seo itu sekadar kedok yang tertulis di atas kertas belaka memegang saham PT PAL untuk Korindo Group selama empat tahun sebelum konglomerasi itu kemudian mengklaim telah membeli perusahaan tersebut.
Dugaan tersebut didukung dengan adanya perubahan struktur dalam jajaran direksi PT PAL. Pada hari yang sama ketika Seo mengambil saham Kim di tahun 2009, posisi Kim sebagai direktur perusahaan diganti dengan sosok yang tak lain adalah direktur lama dari Korindo Group, yakni Eugenius Simon Lestuny. Menurut pemberitaan media massa, Eugenius pernah memainkan peran dalam mengelola aktivitas bisnis penebangan Korindo Group di Papua sejak awal 2000-an.
Ketika kami bertanya kepada pihak Korindo Group mengenai peran Seo Haeng Won dalam kesepakatan itu, dikatakan kalau namanya hanya dipakai sebagai nominee. Tetapi, itu pun untuk Kim Nam Ku, bukan Korindo Group. Pihak Korindo Group memberi tahu kami bahwa Kim telah meminta Seo untuk menahan sahamnya di atas kertas. Korindo Group tidak memberikan penjelasan mengapa Kim melakukan hal tersebut. Namun, Korindo Group mengakui Seo tidak memiliki peran dalam kesepakatan antara Kim dan Korindo Group. Pihak Korindo Group menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan selanjutnya menyangkut Eugenius Lestuny. Seo Haeng Won dan Eugenius Lestuny tidak bisa dihubungi untuk dimintai komentar.
Tidak mudah untuk membongkar teka-teki di balik kesepakatan PT PAL itu. Sang “konsultan” yang dimaksud, ternyata bukanlah seorang konsultan. Sosok yang disebut “penjual saham” pun juga tidak benar-benar memiliki saham. Nama yang dipinjam itu tak lain adalah kedok untuk Kim Nam Ku, meski begitu ia pun pernah bekerja untuk Korindo Group. Penjelasan Korindo Group sepertinya begitu kontradiktif: apakah perantara itu telah mengatur biaya konsultasi dengan si “konsultan” seperti yang dikatakan pihak Korindo Group kepada dua organisasi yang pernah menginvestigasi laporan keuangan mereka? Atau, jangan-jangan konsultan yang dimaksud dan perantara itu merupakan sosok yang sama seperti yang diutarakan pihak Korindo Group kepada kami?
“Seorang tidak bertindak korup pada waktu-waktu tertentu saja.”
Di mana pun kebenaran berada, tampaknya hal itu telah jelas bahwa mengacu pada serangkaian kejadian yang diutarakan pihak Korindo Group, Kim Nam Ku sudah merauk aset bernilai puluhan juta dolar melalui perolehan izin-izin dari pemerintah secara resmi. Untuk mendapatkannya, ia tentu telah melampaui jalan berliku yang penuh dengan risiko terjerat korupsi. Pada tahun yang sama di saat PT PAL berhasil mengantongi izin dari Kementerian Kehutanan (kini menjadi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup) tahun 2012 lalu, institusi tersebut dicap sebagai lembaga negara paling korup menurut survei KPK. Pada 2016, Johanes Gluba Gebze, pihak yang telah menandatangani izin untuk PT PAL, dihukum atas tindak pidana korupsi. Pria yang akrab disapa John itu menjabat sebagai Bupati Merauke tahun 2000–2010. Di kabupaten yang dipimpinnya itulah lokasi konsesi perkebunan berada. John kemudian mendekam di balik jeruji atas kasus penyelewengan APBD senilai miliaran rupiah.
“Seorang tidak bertindak korup pada waktu-waktu tertentu saja,” kata Shruti Shah kepada kami. Shruti adalah Presiden dan CEO Coalition for Integrity, sebuah organisasi non-profit di AS yang melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi. “Jika Anda memiliki rekam jejak untuk menjadi korup pada situasi seperti ini, maka peluang tersebut menjadi lebih besar.”
Jadi, siapakah Kim Nam Ku? Dan apa saja yang sudah pernah ia kerjakan di Indonesia?
Bagian 4: Sang konsultan
Nikolaus Mahuze bertemu Kim Nam Ku untuk pertama kalinya pada pertengahan 2000-an ketika Kim muncul di Distrik Muting, Kabupaten Merauke. Saat itu, Kim berusia di akhir 40-an. Ia datang bersama pejabat setempat yang tengah mendampingi pengusaha untuk mencari lahan bagi perkebunan. Perangai pria kurus itu mungkin terlihat berbeda dengan kondisi di pedalaman Papua. Tetapi, Kim punya pengalaman bekerja di Indonesia selama sekitar 15 tahun. Tentu saja, ia fasih berbahasa Indonesia.
Sementara itu, Nikolaus sendiri adalah pemuda 30-an tahun. Ia sarjana pertanian dan aktif berkegiatan di gereja. Kim dan para investor lainnya jatuh hati pada wilayah adat dari marganya. Nikolaus memberi tahu kami bahwa waktu itu ia bertindak sebagai seorang “koordinator” yang memastikan terjadinya pertemuan antara pengusaha-pengusaha tersebut dan tokoh-tokoh adat dari marga pemilik tanah-tanah yang sedang diincar. Kim lantas menunjuk Nikolaus sebagai sosok yang dianggapnya dapat membimbing Kim untuk menaklukkan adat dan tradisi di sana. Keduanya terikat dalam satu agama yang sama sebagai umat Kristiani. Hingga sepuluh tahun kemudian, jalinan persahabatan mereka berujung pada penyelenggaraan ritual adat di Merauke hingga pengalaman berbelanja di mal-mal mewah di Jakarta. “Dia sebenarnya punya hati sama saya,” ucap Nikolaus. “(Kim sudah jadi) macam saudara.” Meski begitu, ia masih sering memanggil Kim selayaknya orang asing dengan sebutan “mister” yang berarti tuan.
Johanes Gluba Gebze yang menjabat sebagai Bupati Merauke selama dua periode pada 2000–2010, punya ambisi menjadikan Merauke sebagai lumbung padi di kawasan timur Indonesia. Visinya hendak didukung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian mulai mempromosikan berbagai rencana mengubah wajah rimba raya dan padang sabana di Kabupaten tersebut menjadi blok-blok perkebunan raksasa untuk tanaman pangan dan bahan bakar hayati (biofuel).
Pada pertengahan tahun 2000-an, Kim bekerja sebagai direktur Daewoo Logistics untuk Indonesia, ungkap seorang direktur yang lain di Daewoo Logistics yang berbasis di Seoul. Entitas lain di bawah Daewoo Group, adalah perusahaan Korea Selatan yang bangkrut pada saat krisis moneter melanda Asia tahun 1999. Saat Kim Nam Ku bekerja dengan perusahaan itulah, Daewoo Logistics mengimpor jagung ke Korea Selatan. Direktur tersebut juga mengatakan kalau mereka tengah mencari lahan untuk pengembangan komoditi perkebunan itu di Indonesia.
Di belahan benua lain di Afrika, tepatnya Madagaskar, peran Kim di Daewoo Logistics kemudian memposisikannya sebagai sentral dari salah satu proyek perkebunan paling kontroversial di akhir tahun 2000-an. Dengan melonjaknya harga bahan pangan sebagai komoditas global, berbagai investor dan makelar pun kian ramai berburu lahan. Sementara itu, istilah “land grab” yang berarti perampasan tanah, telah mulai menarik perhatian global. Direktur yang sama mengungkapkan kepada kami bahwa Pemerintah Madagaskar ketika itu menawarkan lahan pada Daewoo Logistics dengan cakupan mencapai dua juta hektar atau hampir setara dengan luasan Provinsi Bengkulu. Kim punya tugas untuk melakukan kalkulasi terhadap kesesuaian tanah itu untuk bisnis perkebunan.
Kim mengepalai sebuah tim yang terdiri dari sekitar 60 orang, termasuk para teknisi yang ia bawa dari Indonesia. Dari foto-foto yang kami peroleh dari suatu sumber, menampilkan ia tengah melakukan perjalanan keliling negara serumpun itu dengan mobil dan helikopter untuk mengecek lahan dan menemui pejabat setempat. Direktur yang menjadi narasumber kami bilang, setelah survei selama enam bulan, Kim menyusun rencana investasi yang kemudian diserahkan ke pihak pemerintah di sana.
Pada bulan Juli 2008, Kim tampil di halaman depan sebuah koran di Madagaskar. Sosoknya bersanding dengan seorang menteri dan CEO Daewoo Logistics. Empat bulan setelahnya, surat kabar Inggris bernama Financial Times memberitakan bahwa Daewoo Logistics akan mengembangkan 1,3 juta hektar lahan atau sekitar sepertiga dari lahan produktif yang terdapat di negara pulau itu selama 99 tahun. Gelombang penolakan terhadap kesepakatan itu memicu protes besar yang lantas mendesak presiden yang menjabat kala itu, Marc Ravalomanana, untuk mundur di tahun berikutnya. Daewoo Logistics pun mengajukan pailit pada pertengahan 2009. Proyek yang dibatalkan itu dijadikan alasan kegagalan mereka mengatasi krisis keuangan global yang melanda.
Sementara di Papua, Kim memulai perjalanannya menelusuri desa-desa terpencil ditemani oleh Nikolaus Mahuze yang membantu membahasakan gagasan pihak investor kepada masyarakat asli Papua di sana. Tak hanya itu, Nikolaus juga menemani Kim dalam rapat-rapat dengan para birokrat Pemerintah Kabupaten Merauke, termasuk dengan Bupati John Gluba Gebze dan Dinas Kehutanan Kabupaten Merauke.
Kim sempat mengutarakan pada Nikolaus bahwa ia cukup percaya diri akan mendapatkan izin-izin dari pemerintah. Tetapi, ia justru khawatir pada kemungkinan adanya penolakan dari masyarakat asli Papua terhadap proyek tersebut. “Saya bilang (padanya), Mister kalau sepanjang Mister (ber-)agama Kristen…. Kalau Mister betul cinta, kasih itu pasti terwujud. Tapi, kalau Mister maunya egois, pasti masyarakat tidak mau,” ucap Nikolaus pada Kim kala itu.
Tahun 2006, Kim membangun PT PAL dan perusahaan lain yang akan jadi kendaraan untuk proses perolehan perizinan perkebunan, yaitu PT Bio Inti Agrindo (BIA). Ia juga menjadi pemegang saham mayoritas di kedua perusahaan tersebut. Menurut catatan perusahaan, PT BIA terdaftar dengan alamat Daewoo Logistics di Jakarta, sedangkan PAL terdaftar dengan alamat rumah Kim. Setiap perusahaan menerima izin lokasi dari Bupati Johanes Gluba Gebze — akrab disapa John — pada 16 Januari 2007.
Pada hari yang sama, John juga mengeluarkan izin lokasi untuk dua anak perusahaan Korindo Group. Dari foto-foto yang kami peroleh dan diperkirakan diambil pada tanggal sekitar keluarnya izin-izin itu, menunjukkan Kim sedang duduk di sebuah lobi hotel mewah bersama Sang Bupati dan salah seorang direktur Korindo Group Kim Hoon. Salah satu foto itu menampilkan wajah sumringah Kim Nam Ku menghadap kamera ketika John menandatangani sejumlah dokumen di sampingnya.
Ketika jurnalis kami mengunjungi Papua tahun lalu, John masih bebas bepergian di Kota Merauke, padahal ia telah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada 2016 atas vonis Mahkamah Agung untuk kasus korupsi yang menjeratnya. Ia telah menyelewengkan dana APBD untuk pembayaran cinderamata produk kerajinan lokal berupa tas, dompet, ikat pinggang, dan koper kulit buaya yang dibagikan kepada para politisi dan pengusaha yang berkunjung ke kabupaten yang dipimpinnya. Menyambut tamu-tamu dengan keramahan dan kemurahan hati, seringkali merupakan cara para “orang besar” maupun tokoh adat dalam berbagai budaya Melanesia untuk menegaskan diri sebagai tuan rumah.
Saat kami menghubungi John lewat sambungan telepon, mantan bupati itu menolak untuk menceritakan hubungannya dengan orang-orang perusahaan. Dengan mengatakan bahwa keputusan akhir ada di tangan Jakarta, ia seolah menyangkal peran daerah terhadap proses perizinan awal bagi konsesi. “Jangan cari kambing hitam,” katanya. “Kita ini bukan penyebab masalah. Kita ini ‘kan penerjemah dari kebijakan.” Ketika kami menyinggung transaksi biaya konsultasi, ia mengaku baru mendengarnya dari kami.
Izin lokasi yang diperoleh dari John sebagai kepala daerah kala itu merupakan langkah awal dari serangkaian proses perizinan melalui Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Tahun 2012, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pernah melepaskan kawasan hutan terkait konsesi perkebunan milik PT PAL. Lalu pada Desember di tahun berikutnya, Romanus Mbaraka, Bupati Merauke yang menjabat setelah John lengser dari kursi panasnya, memperpanjang izin lokasi yang pernah dikeluarkan oleh John sebelumnya. Zulkifli maupun Romanus tidak menjawab permohonan terkait tanggapan mereka mengenai hal tersebut.
Seo Jeongsik, Managing Director Korindo Group, mengungkapkan pada kami bahwa ketika Korindo Group mengakuisisi PT PAL, proses perizinan sudah diselesaikan. Kami mendapatkan sebagian dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) PT PAL yang merupakan salah satu prosedur penting dalam perolehan perizinan. Dari dokumen itulah terlihat kalau penyusunan AMDAL baru selesai tahun 2014, setahun setelah pihak Korindo Group mengatakan kalau mereka sudah mengambil alih perusahaan bersama seluruh izinnya.
Pada bulan April, setelah berbulan-bulan melacak keberadaan Kim Nam Ku, kami akhirnya dapat menghubunginya melalui telepon. Kim memberi tahu kami bahwa dirinya telah tinggal di Indonesia selama tiga puluh tahun dan menjadi warga negara yang telah dinaturalisasi. Ia mencitrakan sosoknya sebagai wirausahawan mandiri yang pula membangun proyek-proyeknya sendiri. “Saya ingin berbisnis untuk diri saya sendiri untuk juga tinggal di Indonesia, tapi saya merasa belum memiliki kapabilitas yang cukup,” katanya. “Maka, saya memutuskan berbisnis dengan perusahaan-perusahaan besar dan akhirnya mengembangkan berbagai lahan.”
“Saya terlibat pada saat kontrak awal, tapi kemudian saya tidak terlibat sama sekali.”
Pada bulan September 2011, dua tahun setelah Daewoo Logistics menyatakan bangkrut, Kim menjual 85% saham di perusahaan lain yang dibentuknya, yaitu PT Bio Inti Agrindo, kepada konglomerasi Korea Selatan lain bernama POSCO Group dengan nilai AS$10 juta mengacu pada kontrak yang kami peroleh. Setelah transaksi, Kim masih memiliki sedikit saham minoritas di PT BIA. Ia memberi tahu kami bahwa ia masih terlibat sebagai penasihat. Namun, Kim mengaku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan PT PAL setelah menjualnya kepada Korindo Group.
“Saya terlibat pada saat kontrak awal, tapi kemudian saya tidak terlibat sama sekali,” katanya. “Jadi, saya tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.”
Saat ditanya terkait adanya pembayaran uang sebesar AS$22 juta, ia menghindar. Apakah Kim telah meminta agar hal itu dibayarkan dalam bentuk biaya konsultasi? “Tanya saja ke pihak perusahaan,” katanya. Yang ia maksud itu adalah Korindo Group. Apakah uang jatuh ke kantong-kantong para birokrat maupun politisi? “Saya tidak tahu,” jawabnya. “Saya tidak terpikir mengenai itu.” Ketika ditanya tentang Seo Haeng Won, pria yang telah menerima transfer sahamnya tahun 2009 lalu, Kim mengatakan ia tidak tahu siapa itu Seo.
Pertanyaan-pertanyaan kunci terkait dengan kesepakatan antara Korindo Group dan Kim, dapat dibandingkan dengan merujuk pada periode waktu yang berbeda antara apa yang tercantum pada dokumen perusahaan dan apa yang diutarakan oleh pihak Korindo Group sendiri. Menurut pihak Korindo Group, mereka membeli PT PAL dari Kim tahun 2013 dengan perizinan lengkapnya. Sementara itu, salah satu tahapan penting dari proses perizinan mereka, justru baru selesai tahun 2014.
Namun, pertanyaan yang lebih krusial, adalah apakah pihak Korindo Group telah mengambil alih PT PAL pada waktu yang lebih awal dari yang disebutkan itu. Jika hal tersebut benar adanya, maka itu berarti Kim pasti telah menunjuk satu orang dari pihak Korindo Group, — yang ia akui tidak dikenalnya — yakni Seo Haeng Won sebagai pemegang saham nominee dan orang lain dari Korindo Group yang bernama Eugenius Simon Lestuny sebagai direktur. Hal tersebut memang tak mustahil, tetapi terdapat tafsiran lain yang lebih logis kalau Seo dan Eugenius sama-sama mewakili Korindo Group sebagai perusahaan yang terhubung dengan mereka selama bertahun-tahun dan Korindo Group telah memegang kendali atas PT PAL pada 2009. Sehingga, dari situlah terlihat bahwa transaksi sebesar AS$22 juta — yang dibayarkan sebanyak dua kali di tahun 2013 dan 2015 — ternyata memang bukan “pembelian saham secara langsung” seperti yang diutarakan pihak Korindo Group.
Lewat pernyataan tertulis, pihak Korindo Group menegaskan bahwa mereka “tidak memegang kendali sama sekali atas PT PAL sebelum terjadinya akuisisi tahun 2013.” Kim, setelah komunikasi pertama kami melalui sambungan telepon, mengabaikan berbagai permohonan kami untuk meminta komentarnya, termasuk upaya yang kami lakukan dengan surat berisi serangkaian daftar pertanyaan dan konfirmasi.
Selain memperoleh izin-izin dari pemerintah, perusahaan perkebunan juga harus mampu meyakinkan masyarakat adat untuk bersedia menyerahkan tanah adat mereka. Kami telah memastikan bahwa Kim memang telah memimpin proses tersebut untuk PT BIA sebelum ia menjual sebagian besar sahamnya di sana kepada POSCO. Berbagai negosiasi dengan suku setempat dipimpin oleh Yanto Dawenan, seorang manajer senior dari PT BIA. Yanto mengatur urusan ganti rugi dengan nilai sedikitnya Rp50 ribu per hektar. (Yanto menolak permohonan kami untuk mewawancarainya.) Kesepakatan antara pihak perusahaan dan dua suku di sana, ditandatangani pada Desember 2010 dengan pembayaran yang dilakukan pada bulan ketika penandatanganan dilakukan dan Juli 2011 dengan untuk masing-masing marga mencapai Rp166.727.500. Kesepakatan itu pun diikat dengan ritual pemotongan babi di mana Kim mengambil bagian bawah tengkorak babi dan penduduk asli Papua mengambil bagian atasnya. Tetapi, kami kemudian tidak menemukan bukti kalau Kim telah mengatur pembayaran ganti rugi dengan masyarakat setempat atas nama PT PAL.
Lewat keterangan tertulis, pihak POSCO mengatakan bahwa proses uji tuntas (due diligence) sebelum pembelian PT BIA dilakukan, ternyata tidak terbukti memiliki kecacatan hukum, baik itu terkait dengan izin-izin yang telah diakuisisi Kim maupun masalah sengketa dengan masyarakat. Pada surat balasan yang sama, diungkapkan kalau PT BIA telah sah secara hukum memberikan kompensasi kepada masyarakat sesuai aturan adat yang berlaku. Pihak POSCO membenarkan bahwa Kim tetap sebagai penasihat. Meski begitu, mereka juga menegaskan perihal Kim yang tak lagi punya wewenang untuk merepresentasikan PT BIA.
Pada 2013 — tahun yang sama saat pembayaran pertama untuk biaya konsultasi itu dilakukan — Kim mengundang kawan lamanya Nikolaus Mahuze berkunjung ke Jakarta. Saat itu, Nikolaus sudah terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Merauke yang menjelang periode akhir masa jabatannya. Kim hendak menawarkannya posisi sebagai perantara antara PT BIA dan penduduk asli Papua. Sebagian masyarakat percaya bahwa tanah-tanah mereka telah dijual kepada pihak PT BIA melalui orang lain lewat klaim palsu, sementara lainnya menuntut kompensasi yang lebih.
“Wah, Mister berarti sudah makmur ini.”
Nikolaus kemudian merasa kecewa terhadap kawannya itu. Ia bilang, pabrik-pabrik perkebunan sawit telah mulai mengotori Sungai Biyan. Tapi, tahun 2013 lalu ia menikmati juga limpahan usaha sukses Kim. Nikolaus dijemput di bandara dan diantar langsung ke kantor PT BIA di Gedung Bursa Efek Indonesia. Di sana, kenangan atas tengkorak babi yang dibagi dua itu ada dalam sebuah kotak. Kumpulan album foto tersebut tersimpan di bawah meja sebagai suatu dokumentasi perjalanan panjang Kim di Papua. Kim mengajaknya pergi ke suatu mal dan menghadiahinya macam-macam: sepatu, kemeja batik, kamera merek Canon, dan sebuah buku tentang investasi bisnis. Nikolaus memperhatikan perangai Kim yang bertambah gemuk. Kim telah berubah drastis sejak sepuluh tahun terakhir. Ia tak lagi pria Korea yang kurus. Kim bilang ia dibuat pusing selama bertahun-tahun memikirkan izin-izin.
Nikolaus bilang padanya, “Wah, Mister berarti sudah makmur ini.”
Bagian 5: Penduduk asli Papua
Wilayah pesisir Kota Merauke terhubung dengan kawasan pedalaman melalui Jalan Trans Papua, sebuah jalan nasional yang melewati perbatasan Papua Nugini antara Merauke dan Jayapura. Pada peta Indonesia, kabupaten itu punya bentuk bagai kaki burung yang menjorok ke Laut Arafura dengan padang sabana dan hutan eukaliptus yang berbatasan langsung dengan Australia. Menelusuri bagian utara Merauke, terdapat jalan yang menuju rawa-rawa. Di baliknya, terbentang hutan yang kaya.
Pos-pos militer terbangun di sepanjang jalan utama tersebut. Semakin mendekati desa-desa di Distrik Muting, intensitas dari keberadaan tentara kian terasa dekat. Awalnya, pos itu terlihat setiap 20 menit, lalu setiap sepuluh menit, dan meningkat menjadi setiap lima menit sekali. Distrik Muting sendiri adalah jantung yang telah ditargetkan oleh kelompok investor agroindustri sejak lebih dari satu dekade lalu. Kini, kampung-kampung di sekitar Muting, terhimpit oleh perkebunan sawit di sisi selatan dan timur. Sementara itu, area konsesi milik Korindo Group dan POSCO, terletak di sisi utara. Seluruh kawasan itu awalnya milik berbagai marga di Papua yang jumlahnya mencapai ribuan orang. Sebagian wilayah adat mereka — yang merupakan warisan dari leluhur — kini terbentang jauh di dalam kawasan perkebunan.
Untuk mencapai Desa Muting di Distrik Muting, kami berbelok dari jalan raya beraspal mulus ke jalan kecil bertanah dan melintasi jembatan reyot yang tampaknya bisa runtuh kapan saja ketika terbebani oleh kendaraan roda empat. Saat kami tiba, kantor distrik terlihat terlantar. Ada alat berat berupa mesin pengeruk di halaman depannya. Kedatangan kami kala itu adalah upaya untuk menelusuri apa sesungguhnya yang terjadi pada tahun-tahun sejak Korindo Group mulai melakukan ekspansi perkebunan di hutan Papua.
Jejeran rumah warga berbaur dengan warung milik pendatang yang berdiri di sepanjang jalan-jalan utama di desa. Sedangkan penduduk asli Papua, sebagian besar tinggal di dekat rawa-rawa di mana mereka masih menggantungkan sumber penghidupan dari aktivitas memancing dan memanen sagu sebagai makanan pokok mereka. Di sebuah rumah mungil nan sederhana dan dikelilingi oleh pohon-pohon sagu di tepian sungai yang mengering, kami bertemu Gabriel Wauk dan Laurensius Omba. Gabriel adalah pimpinan Suku Marind di Muting dan ia berusia di akhir 50-an, sedangkan Laurensius adalah tetua adat Suku Mandobo dan ia umurnya telah memasuki kepala delapan.
“Ada makan kotoran di situ. Jadi, pengemis di muka kantor.”
Kedua orang tua itu memberi tahu kami tentang harapan yang dimiliki oleh penduduk asli ketika para investor dari Korea Selatan datang untuk membangun perkebunan. Pihak Korindo Group membuat janji-janji manis tentang kesejahteraan hidup penduduk asli dengan menyerahkan tanah-tanah adat mereka pada perusahaan. Sejumlah suku dikatakan akan menerima uang ganti rugi atas tanah dan pohon-pohon yang ditebang, termasuk pula fasilitas rumah dan pendidikan. Bahkan, penduduk asli dijanjikan akan diberi kebun-kebun sawit sendiri dalam skala kecil. Perusahaan bilang akan turut meringankan beban pemerintah dengan membangun infrastruktur dan klinik kesehatan serta menyediakan listrik.
“Siapa saja, duit tampias. Duit kayak daun saja, artinya dia terbang-terbang itu kayak begitu,” kata Gabriel kepada kami membayangkan harapan-harapan yang tak kunjung jadi nyata. “Sekarang? Ada makan kotoran di situ. Jadi, pengemis di muka kantor.”
Apa yang diutarakan oleh Gabriel itu merupakan luapan kekecewaan yang pula banyak dilontarkan oleh penduduk asli Papua yang kami wawancarai di sekitar perkebunan-perkebunan milik Korindo Group. Mereka mengatakan kalau Korindo Group telah ingkar janji. Tak ada kebun untuk warga, begitu juga tak ada janji-janji manis lain yang dipenuhi.
Bahkan, Nikolaus Mahuze — orang Papua yang telah membantu Kim Nam Ku — merasa sangat menyesal. “Tanah ini kita kasih. Kita punya harta. Kita kasih untuk kau bangun,” ujar Nikolaus. “Ternyata, begitu berkembang investasi di sana, kita (penduduk asli Papua) menderita juga dari sisi pendapatan, hak-hak kita, (dan) lingkungan (yang rusak). Pabrik-pabrik yang sudah dibangun di sana, dilarikan (limbahnya) ke tempat yang kita biasa gunakan, seperti kali dan lain-lain.”
“Tanah ini kita kasih. Kita punya harta. Ternyata, begitu berkembang investasi di sana, kita menderita.”
Menurut catatan laporan dari pihak Korindo Group sendiri, mereka telah menebang seluas hampir 50 ribu hektar hutan di Papua sejak 1998 hingga akhirnya mendapatkan berbagai tekanan dari berbagai organisasi lingkungan dan pemberlakukan kebijakan moratorium (penundaan sementara) pada Februari 2017. Operasi bisnis perusahaan pun menargetkan lansekap area yang sudah diidentifikasi oleh WWF sebagai kawasan prioritas konservasi global karena memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa kaya dan tak ada di mana pun. Di sanalah hutan-hutan adat dijaga oleh masyarakat adat setempat sebagai tempat untuk berburu babi hutan dan tumbuhnya pohon-pohon sagu untuk makanan sehari-hari.
Sebagian karena kesalahan pemerintah, ucap penduduk setempat. Pejabat pemerintah lokal telah mendesak masyarakat untuk mau menerima Korindo Group dengan mengutarakan bahwa pihak investor akan membangun berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, kebanyakan penduduk asli tidak memahami mekanisme penyerahan tanah-tanah adat itu memiliki jangka waktu hingga 35 tahun. Setelahnya, terdapat kemungkinan tanah-tanah adat itu justru dikembalikan kepada negara, bukan masyarakat adat.
“Masyarakat seperti (anak) ayam kehilangan induk,” kata Leonardus Mahuze kepada kami. Ia menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Merauke pada periode 2009–2014. “Jadi, kekurangan pemerintah di situ, seharusnya disosialisasikan dengan baik. Sehingga, masyarakat juga berpikir beberapa kali kalau mau serahkan tanah.”
Sebagian penduduk asli Papua tak punya niatan untuk menyerahkan tanah-tanah adat mereka kepada pihak Korindo Group dengan harga berapa pun. Tapi, menurut Anselmus Amo, pendeta asal Merauke, mereka seolah tak pernah diberikan pilihan.
“Yang ditakutkan warga itu ‘kan dicap sebagai OPM.”
“Jadi, kalau ada warga yang tidak mau menerima, ya, ditekan,” ungkap Anselmus, direktur dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP KAME), sebuah organisasi yang berafiliasi dengan gereja Katolik yang pula menggeluti isu HAM, sosial, dan lingkungan di Papua. “(Mereka) dicap sebagai anti-pembangunan dan sebagainya. Dan, yang ditakutkan warga itu ‘kan dicap sebagai OPM.”
Yang ia maksud dengan OPM itu adalah singkatan dari Organisasi Papua Merdeka, sebuah gerakan yang mendorong kemerdekaan Papua yang wilayahnya dianeksasi oleh Indonesia pada 1960-an. Tahun 2008, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Pembela HAM melaporkan bahwa penduduk asli Papua yang lantang bersuara memiliki risiko menjadi korban dari penyalahgunaan wewenang yang mengancam kredibilitas mereka karena stigma OPM yang dikaitkan sebagai kelompok separatis. Seseorang yang dituduh sebagai OPM, bisa berakhir di balik jeruji, bahkan disiksa atau dibunuh oleh militer.
“Mereka tidak tahu nanti mereka punya tanah ini dipakai untuk seterusnya, lalu tidak akan kembali menjadi hak milik mereka lagi.”
Anselmus atau biasa dipanggil Pastor Amo, mengatakan kalau pasukan militer biasanya hadir pada rapat-rapat antara pihak Korindo Group dan masyarakat. “Untuk apa Dandim (Komando Distrik Militer), Kapolres (Kepala Kepolisian Resor), dan bupati harus turun kalau hanya untuk menyaksikan? Jadi, masyarakat melihat itu sebagai pesta atau simbol bahwa investasi datang memang dibawa oleh pemerintah dan kawan-kawannya ini,” paparnya kepada kami. “Mereka tahu saja ini untuk pembangunan. (Tapi,) mereka tidak tahu nanti mereka punya tanah ini dipakai untuk seterusnya, lalu tidak akan kembali menjadi hak milik mereka lagi.” Terkait hal itu, pihak Korindo Group menolak memberikan tanggapan.
Di banyak tempat, pihak Korindo Group telah memberikan uang dengan nilai sepuluh dolar, bahkan seringkali lebih sedikit dari itu, kepada masyarakat agar mau menyerahkan hak mereka atas tanah-tanah adatnya selama berpuluh-puluh tahun. Pihak perusahaan juga menyetujui pembayaran sedikitnya Rp12.500 untuk setiap meter kubik kayu yang dipanen dari tanah-tanah adat tersebut. Sementara itu, Korindo Group mengekspor kayu-kayu dengan harga 200 kali lipat lebih tinggi setelah mengolahnya menjadi triplek atau kayu lapis di pabrik kayu yang terdapat di Asiki, Distrik Jair, Boven Digoel.
Pada sebuah wawancara lewat video bulan April lalu, Kwangyul Peck yang menjabat sebagai Chief Sustainability Officer (Kepala Keberlanjutan) Korindo Group, mengatakan bahwa tarif kompensasi untuk tanah-tanah itu sudah sesuai. “Bukan kami yang menentukan harga tanah, tapi pasar,” komentarnya. Ia juga bilang kalau untuk tarif ganti rugi pohon, sudah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi. Sementara itu, pihak Korindo Group mengaku telah mengeluarkan uang jutaan dolar untuk berbagai program sosial mereka. “Jika kami menambahkan sekolah, bus sekolah, klinik, jalan, jembatan, peternakan ayam, kebun sayuran, listrik, gereja, masjid, dan pelatihan kerja, maka kompensasi untuk masyarakat akan jauh lebih besar,” ungkapnya melalui balasan surat elektronik (surel).
Tahun 2017, Korindo Group diadukan ke Forestry Stewardship Council (FSC) — sebuah lembaga sertifikasi dunia untuk produk kayu berkelanjutan — atas penebangan hutan secara luas dan dugaan pelanggaran HAM. FSC sendiri telah memberikan label sertifikasi terhadap hutan tanaman industri, pabrik kayu, dan pabrik kertas yang berada di bawah naungan Korindo Group meski mereka telah membabat habis hutan begitu masif di Papua. Maka, FSC pun membentuk tim dan mengirim tiga orang ahli di bidang kehutanan ke Merauke untuk menyelidiki pengaduan tersebut.
Dalam laporannya ke FSC, tim tersebut mengakui bahwa investasi yang dilakukan oleh Korindo Group, memberikan beberapa dampak positif terhadap penduduk asli Papua, terutama dengan pendirian sebuah rumah sakit — yang menurut mereka mengesankan — di dekat pabrik kayu milik Korindo Group di Asiki, Boven Digoel. Tetapi, mengacu pada temuan terkait operasi bisnis yang berlangsung selama sepuluh tahun sejak 2007, Korindo Group tercatat telah menghabiskan dana tidak lebih dari AS$4,8 juta untuk seluruh program sosial mereka di Papua. Dalam rentang waktu yang sama, tim tersebut juga menghitung bahwa pihak Korindo Group telah menghalangi penduduk asli Papua untuk mendapat kompensasi senilai AS$300 juta sebagai uang ganti rugi yang sesungguhnya amat rendah atas kayu-kayu yang ditebang dari tanah-tanah milik masyarakat adat.
“Aktivitas Korindo Group,” tulis tim dari FSC, “yang didukung oleh Pemerintah Indonesia itu, merupakan suatu pemindahan yang besar serta tanpa kompensasi atas Modal Hutan dan Modal Tanah dari masyarakat adat di Papua sebagai pemilik lahan, kepada sekelompok kecil pemegang saham individu yang mengendalikan dan memperoleh manfaat dari Korindo Group, terutama Eun Ho Seung dan Robert Seung.”
Kwangyul menggambarkan kalau angka sebesar AS$300 juta itu selayaknya sekadar “fantasi” dengan alasan bahwa tim dari FSC itu menilainya dari perhitungan harga pasar global. Sedangkan menurutnya, pihak Korindo Group menjual kayu-kayu mereka secara lokal dan justru mengalami kerugian atas aktivitas “pembersihan” untuk pengembangan perkebunan. Staf eksekutif Korindo Group itu juga menyertakan menunjukkan anggaran yang menyatakan kalau pihak perusahaan telah menghabiskan dana tambahan hingga AS$4,5 juta untuk layanan kesehatan di antara tahun 2016 dan 2020.
“Aktivitas Korindo Group…merupakan suatu pemindahan yang besar serta tanpa kompensasi atas Modal Hutan dan Modal Tanah dari masyarakat adat di Papua…kepada sekelompok kecil pemegang saham individu yang mengendalikan dan memperoleh manfaat dari Korindo Group, terutama Eun Ho Seung dan Robert Seung.”
Kami memverifikasi klaim-klaim itu dengan membandingkan data dari pihak Korindo Group, Pemerintah Indonesia, dan sumber-sumber lain. Kami memperkirakan bahwa dari tahun 2000 sampai 2017, Korindo Group telah mengekspor produk senilai AS$320 juta yang bersumber dari hasil memanen kayu-kayu di atas lahan-lahan konsesi perkebunan mereka di Papua. Sementara itu, kami menaksir bahwa penduduk asli Papua sebagai pemilik tanah-tanah adat tersebut, dibayar tak lebih dari 0,5% dari nilai bahan baku tersebut. Lantas, kami mengajukan pertanyaan kepada pihak Korindo Group mengenai berapa banyak uang yang sebetulnya sudah mereka bayarkan kepada penduduk asli Papua atas kompensasi dari panen kayu-kayu tersebut secara keseluruhan. Namun, pihak Korindo Group tidak menjawab.
Tim FSC juga menemukan bahwa pihak Korindo Group telah “mengambil keuntungan secara langsung” dari kehadiran tentara di pihak perusahaan yang kemudian berefek pada adanya suatu tekanan kepada masyarakat agar tidak menolak kegiatan perusahaan maupun jumlah kompensasi yang ditawarkan. “Persoalan itu sistematis dan ditemukan di semua operasi bisnis perusahaan,” menurut laporan tertulis tim itu. Dalam sebuah laporan berdasarkan temuan tim yang dipublikasikan tahun lalu, FSC menulis bahwa masyarakat di sana hidup di bawah ancaman dan pada beberapa kasus, terdapat tindak kekerasan, di dalam suasana yang penuh dengan intimidasi.
Tahun 2004, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menerbitkan sebuah laporan yang menduga pihak Korindo Group telah melakukan pembayaran uang “keamanan” secara bulanan kepada para komandan, personel, dan batalyon militer di Boven Digoel. “Tidak jelas kemudian apa timbal balik yang harus diberikan kepada perusahaan,” tulis KontraS dalam laporannya.
Pihak Korindo Group tidak merespon pertanyaan kami mengenai pembayaran itu lewat surel. Kwangyul Peck membantah tuduhan yang menyinggung pihak Korindo Group telah menjalin hubungan yang sepatutnya tidak dilakukan dengan tentara.
“Kami memperoleh tanah-tanah tersebut dengan cara-cara yang legal dan mengacu pada kesepakatan dengan pihak Pemerintah Indonesia dan masyarakat dengan kompensasi yang layak. Dan mereka senang,” kata Kwangyul. “Benar, ada pihak-pihak yang tidak senang dengan itu… Tapi, itu bukan pandangan dari semua masyarakat.”
Pihak Korindo Group dan para pendukungnya menunjukkan peluang lapangan pekerjaan yang sudah mereka ciptakan melalui pengembangan perkebunan. Tapi, tim dari FSC menemukan kalau sekitar 90% pekerjaan yang ada di Korindo Group justru diisi oleh para pendatang dari luar Papua dan sangat sedikit orang asli Papua yang duduk di level manajer.
Di Kampung Naga, sebuah permukiman di dalam kawasan perkebunan milik Korindo Group di Boven Digoel, kami bertemu dengan seorang perempuan adat dari Suku Mandobo. Sebut saja ia dengan B. (Nama dan identitas lainnya sengaja kami samarkan.) Ia mengatakan kalau ia putus sekolah di usia 14 tahun dan telah mulai bekerja di perkebunan milik Korindo Group sepuluh tahun lalu setelah ayahnya meninggal dunia. Pekerjaan B sehari-hari sebagai buruh sawit, adalah mengumpulkan buah sawit dan menyemprot pupuk. Terkait dengan hal itu, pihak Korindo Group menolak berkomentar ketika kami bertanya apakah benar mereka menggunakan pekerja anak di perkebunannya.
“Pagi itu, kalau tidak ada sayur, biasanya masak nasi saja. Makan nasi kosong.”
Hampir setiap bulan, tutur B, sekitar separuh dari gajinya hanya dapat digunakan untuk membeli makanan yang dibelinya dari sebuah warung koperasi yang terletak di dalam kawasan perkebunan. Kami mengecek harga-harga di sana jauh lebih mahal dari harga-harga makanan pada umumnya di Jakarta. Seringkali, B hanya mampu membeli makanan seadanya saja karena tak punya cukup uang. “Pagi itu, kalau tidak ada sayur, biasanya masak nasi saja. Makan nasi kosong (tanpa sayur dan lauk),” katanya kepada kami di suatu ruang belakang rumah kosong di mana B merasa aman untuk berbicara dengan jurnalis kami.
Dalam laporan yang diterbitkan tahun 2019 lalu, FSC mencatat bahwa meski pengeluaran Korindo Group untuk berbagai program sosial mereka itu “dapat diterima dengan baik,” namun hal tersebut “belumlah cukup untuk membandingkannya dengan kerusakan dan kerugian” yang telah mereka lakukan terhadap kawasan hutan di Papua yang menjadi sumber penghidupan penduduk asli di sana sebelum adanya perkebunan-perkebunan sawit. Tim FSC juga menemukan fakta Korindo Group yang telah mengurangi persediaan pangan masyarakat di sana dengan turut menebangi kebun sagu dan hutan. Sebagian penduduk asli Papua telah didesak untuk berubah dari yang awalnya berdaulat terhadap pangan, menjadi tergantung pada perusahaan untuk pembagian makanan. FSC menyimpulkan bahwa Korindo hampir secara menyeluruh telah mengabaikan hak-hak masyarakat di sana atas standar dasar hidup dan gizi yang layak.
Di Puskesmas Muting, seorang perawat menunjukkan kepada kami data pemeriksaan kesehatan terhadap ratusan anak di distrik tersebut pada Desember 2014 dan Juli 2019. Kingsley Agho, seorang asisten profesor biostatistika di Western Sydney University sekaligus pakar kesehatan ibu dan anak, menganalisis data tersebut untuk kami. Ia mengatakan data tersebut menunjukkan bahwa hampir separuh dari anak-anak di sana mengalami stunting. Artinya, itu merupakan salah satu tanda mereka pernah menderita kelaparan secara kronis.
Kingsley mengatakan bahwa tingkat stunting sangat tinggi di antara bayi yang berusia kurang dari enam bulan. Sehingga, hal itu memberikan indikasi terhadap para ibu yang tak mendapat asupan makanan secara cukup. “Mungkin sebagian ibu tidak punya uang untuk membeli makanan. Dan jika ibu tidak makan makanan bergizi, maka ibu pun tidak dapat hanya memberikan ASI pada bayi secara eksklusif.” Tahun 2019, terdapat hampir dua pertiga bayi yang baru lahir, mengalami kelaparan secara kronis. Gizi buruk pada bayi dengan usia sedini itu, papar Kingsley, bisa berdampak pada tingginya angka kematian bayi. Menurut data yang tersedia itu, ada 12 anak penderita gizi buruk yang meninggal dunia.
Kami bertemu dengan K di Kindiki, sebuah kampung di dekat Desa Muting yang dapat dijangkau menggunakan perahu selama dua jam. K adalah seorang ibu yang anak lelakinya terekam menderita gizi buruk. Menurut, penduduk setempat, sungai di sana telah tercemar oleh limbah pabrik-pabrik sawit yang berdiri di sekitarnya.
Putra K lahir pada 2014 lalu di tahun yang sama ketika PT PAL memperoleh perizinan tahap akhir yang diperlukan untuk pengembangan perkebunan sawit. Kini, tanah leluhur dari bayi lelaki tersebut sudah masuk ke dalam kawasan konsesi perkebunan. K yang berusia 24 tahun kala itu, memberi tahu kami kalau bayinya tampak sangat lemah. “Ia sudah tidak (bisa) bangun,” katanya sambil mengunyah pinang. “(Bayi saya) dipangku saja. Cuma diberi ASI satu tahun.”
Bagian 6: Aliran dana
Pada akhirnya, investigasi lanjutan perlu dilakukan oleh lembaga pemerintah terkait untuk menentukan apakah “biaya konsultasi” Korindo Group itu benar-benar telah mendanai penyuapan. “Tentu saja, Anda tidak memiliki bukti kuat secara langsung,” ucap Shruti Shah, presiden dari Coalition for Integrity (Koalisi untuk Integritas). “Anda pun bisa saja tidak dapat menemukan bukti kuat itu, kecuali Anda memiliki kewenangan untuk memanggil saksi, mengakses catatan transaksi bank, dan mengetahui ke mana perginya uang tersebut. Hal-hal itu tidak mungkin dilakukan seandainya Anda bukan penyelidik pemerintah.”
Sebelum konferensi Interpol yang diselenggarakan di Singapura tahun 2019 lalu, transaksi janggal Korindo Group itu sebetulnya telah tercium oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), sebuah perkumpulan yang berbasis di Jakarta untuk bidang HAM dan keadilan sosial, sesungguhnya telah menggali temuan terkait pembayaran mencurigakan itu dengan menelusuri laporan keuangan perusahaan pihak Korindo Group. Mereka juga telah melaporkannya ke KPK. Dalam sebuah wawancara kala itu, Laode Syarif yang tengah menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, menolak memberi tahu kami apakah mereka sudah membuka penyelidikan terhadap Korindo Group atau memberikan tanggapan atas transaksi tersebut sesuai protokol mereka. (Pada awal Juni 2020, kami kembali bertanya kepada pihak KPK yang kini memiliki struktur kepemimpinan yang baru mengenai hal itu. Pertanyaan yang sama pula kami kirimkan ke pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Kejaksaan Agung. Namun, tak ada dari mereka yang menjawab.)
KPK memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi secara mendalam di Indonesia. Lembaga itu juga memiliki rekanan yang dapat mengecek transaksi keuangan dalam rangka memberantas tindak pidana pencucian uang di dalam negeri, yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tetapi, ada tantangan yang jelas-jelas akan menghadang jika pelacakan terhadap pembayaran biaya konsultasi itu dilakukan hingga ke sumbernya, yaitu kemungkinan bahwa transaksi janggal tersebut bisa saja tidak pernah masuk atau tercatat ke dalam ke sistem keuangan Indonesia. Artinya, hal itu sudah di luar jangkauan PPATK.
Akan tetapi, lembaga-lembaga terkait di Indonesia dapat meminta mitra mereka di negara lain, — yang diduga kuat memiliki jejak rekam transaksi di dalam sistem keuangannya — untuk mengakses catatan transaksi bank terkait. Untuk melakukan hal semacam itu, KPK perlu terlebih dulu perlu melakukan suatu pekerjaan di awal untuk kemudian bisa mengembangkan kasus tersebut sebelum meminta bantuan organisasi asing. Putri Rahayu Wijayanti, Spesialis Kerja Sama Internasional KPK, mengungkapkan kepada kami bahwa lembaganya harus menyatakan secara resmi dilakukannya upaya penyidikan sebelum menelusuri lebih lanjut rekaman transaksi bank melalui negara tetangga Singapura.
Berdasarkan UU KPK yang baru, mereka dapat menutup penyidikan yang sudah dibuka selama dua tahun. Tetapi sebelumnya, UU KPK yang lama justru menghalangi KPK untuk menaikkan kasus ke tahap penyidikan sebelum ada bukti yang jelas. Hal itulah yang kemudian membuat KPK menghadapi suatu dilema yang tak bisa dihindari dan tak tuntas. KPK mungkin tidak dapat melakukan penelusuran transaksi keuangan di luar negeri yang akan menjadi bukti kuat atas dugaan penyuapan, kecuali KPK sudah memiliki bukti yang benar-benar kuat untuk mengarahkannya ke sana. (Dengan diberlakukannya revisi terhadap UU KPK yang baru disahkan September 2019 lalu, berdasarkan Pasal 40 ayat (1), maka KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun).
Secara teori, pihak yang berwenang di Singapura dapat melakukan investigasi sendiri. Biarpun negara itu tidak memiliki peraturan-perundangan yang secara khusus melarang penyuapan terhadap pejabat asing, tetapi para ahli yang kami wawancarai menjelaskan bahwa pembayaran yang dilakukan dari perusahaan yang berbasis di Negeri Singa itu, dapat ditindak sesuai undang-undang antikorupsi di sana. Namun, mengacu pada rekam jejak Singapura sendiri dalam menangani korupsi di sektor keuangan, tampaknya tak begitu proaktif untuk jeli melihat adanya transaksi janggal yang sudah dilakukan perusahaan.
Singapura terlanjur punya reputasi sebagai tempat yang aman dan bersih di kawasan Asia Tenggara untuk berbisnis selayaknya oasis di tengah kawasan gurun yang cenderung tak stabil dan diliputi berbagai tindakan korup. Menurut seorang pakar anti-korupsi yang kami wawancarai di sana, Negeri Singa itu pun diyakini penuh dengan uang tunai ilegal dan berbagai aset dari luar negeri. Seperti Swiss sebelumnya, Singapura menggunakan undang-undang kerahasiaan bank (bank secrecy laws) yang ketat untuk menegaskan dirinya menjadi negara tujuan populer bagi mereka yang hendak melakukan transaksi-transaksi yang meragukan. Ekonom senior dari Morgan Stanley, pernah menulis bahwa keuntungan yang didapat itu “sebagian besar berasal dari wilayah episentrum pencucian uang bagi para pengusaha dan pejabat Indonesia yang korup.”
Sebuah transaksi senilai AS$22 juta itu mungkin adalah fenomena “puncak gunung es” dari dana yang diduga mengalir ke Singapura, kata seorang pengacara di sana yang meninjau secara detail pembayaran janggal itu kepada kami. Ia juga mengutarakan bahwa “biaya konsultasi” seharusnya mengundang adanya suatu aktivitas yang mencurigakan sekaligus sebagai lampu merah bagi pihak berwenang terhadap bank yang memprosesnya. Hal itu seharusnya pula dapat menjadi petunjuk agar Departemen Urusan Komersial, sebuah pasukan polisi Singapura yang menangani kejahatan komersial dan keuangan, untuk melakukan penyidikan lebih lanjut. Hukum di Singapura mewajibkan adanya kewaspadaan semacam itu untuk bisa jeli pada transaksi-transaksi bernilai besar yang tampaknya tidak masuk akal dalam hitung-hitungan ekonomi. Namun, meski hal itu bersifat mandatori, — ketika gelagat mencurigakan telah tercium — pengacara yang kami wawancarai itu mengaku kalau tak jarang bank di Singapura seolah menutup mata.
“Ya, begitulah bank,” katanya kepada kami. Seharusnya, mereka menyadari implikasi terhadap transaksi yang mencurigakan sebab lembaga keuangan, terkait dengan rantai aliran dana yang bisa saja diduga sebagai suap. Tapi, jika bank tutup mata, lanjutnya, “Saya juga tak begitu terkejut.”
Mengawasi dunia tentu bukanlah kepentingan Singapura, tambahnya. Akan tetapi, negara itu bisa diharapkan untuk mengejar sebuah kasus di mana aspek integritas pada sistemnya sendiri sebetulnya telah dipertanyakan. Memang kemungkinannya kecil untuk bisa menaruh perhatian pada adanya transaksi yang hanya melalui sistem keuangan Singapura. “Bagi kita,” kata si pengacara, “kepentingan politiknya bukan untuk menuju ke tempat di mana kita tidak perlu berada.”
Putri Rahayu mengungkapkan bahwa KPK telah meningkatkan kolaborasi dengan mitranya di Singapura, yaitu Biro Investigasi Praktik Korupsi atau Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Belakangan ini, keduanya bekerja sama untuk kasus suap besar yang melibatkan maskapai Garuda Indonesia di mana pemilik manfaat sebenarnya dari perusahaan-perusahaan di berbagai tempat di luar negeri, telah dilacak kembali ke Indonesia. “Tanpa kerja sama internasional, kasus itu tidak mungkin terungkap,” kata Ariawan Agustiartono sebagai jaksa penuntut untuk kasus tersebut. Ariawan menambahkan bahwa Singapura telah menjadi mitra yang amat mendukung berbagai penyelidikan lintas negara. “Singapura sudah berubah,” ucapnya.
Singapura pun bukan satu-satunya negara yang terkait dengan transaksi janggal Korindo Group. Karena pembayaran dilakukan dalam mata uang dolar AS, maka proses kliring sudah masuk ke dalam sistem keuangan negara Paman Sam itu yang berpotensi menyeret keterlibatan aparat penegak hukum yang berwenang bersamaan dengan aturan hukum yang berlaku di sana. “Pihak perusahaan telah memanfaatkan pasar modal AS untuk melakukan pembayaran,” kata Shah dari Koalisi untuk Integritas. Kementerian Kehakiman AS, ungkapnya, “sangat agresif dalam bagaimana mereka menafsirkan yurisdiksi hal itu.” Sementara Singapura masih menerapkan pendekatan yang dinilai belum begitu ketat terhadap pengawasan sistem keuangannya, pihak yang berwenang di AS justru punya antusias yang tinggi dalam mengejar kasus-kasus suap asing yang mengarah pada serangkaian kasus transnasional yang punya peluang untuk diselesaikan di AS. Di bawah Prakarsa Pengembalian Aset Kleptokrasi (Kleptocracy Asset Recovery Initiative), Departemen Kehakiman AS baru saja berhasil membongkar penggelapan uang bernilai miliaran dolar dalam salah satu skandal keuangan terbesar di dunia, yaitu 1Malaysia Development Berhad atau dikenal dengan sebutan Skandal 1MDB yang terjadi di Negeri Jiran.
Namun, pihak yang berwenang di AS belum tentu akan bersedia untuk berinisiatif memulai investigasi. Berbagai kasus lain yang dituntut menggunakan Undang-Undang Praktik Korupsi Asing (Foreign Corrupt Practices Act) di sana, umumnya memiliki keterkaitan yang lebih jelas karena melibatkan secara langsung warga, perusahaan, bursa saham, maupun dana curian AS yang dipakai untuk membeli real estate atau properti di tempat-tempat seperti Manhattan atau Florida. Sementara itu, kasus Korindo Group memiliki keterkaitan yang terbatas dengan negara tersebut, yakni hanya karena transaksi dalam dolar AS. Departemen Kehakiman AS sendiri cukup sibuk menangani kasus-kasus korupsi. Debra LaPrevotte, mantan agen khusus FBI, pernah terlibat dalam urusan menelusuri perampokan uang negara yang dicuri lewat kleptokrasi yang melibatkan penggelapan dana secara besar-besaran di negara seperti Republik Demokratik Kongo dan Ukraina dengan nilai mencapai miliaran dolar.
Meski begitu, pihak yang berwenang di AS juga memiliki rekam jejak yang tak tertandingi dalam mendampingi negara-negara lain terkait dengan penyidikan keuangan lintas negara. Searby, mantan jaksa dari Departemen Kehakiman di sana, mengatakan bahwa lembaga di AS punya potensi untuk bisa mengerahkan kekuatan mereka dalam pengumpulan bukti-bukti yang tersebar di seluruh dunia. “AS memiliki peraturan-perundangan yang berlaku secara ekstrateritorial untuk peristiwa yang bahkan banyak terjadi di luar negeri,” katanya. “Ada perangkat penegakan hukum yang berpengalaman, terlatih, dan didanai dengan baik serta dukungan sumber daya untuk bisa mendapatkan sejumlah dokumen (sebagai barang bukti).”
Menurut Debra, jika Indonesia mau meminta bantuan untuk kasus Korindo Group itu, — melalui apa yang disebut dengan perjanjian bantuan hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistance Treaty (MLAT) — maka lembaga terkait di sana mungkin akan dapat membantu. “Terkait dengan informasi yang sudah dimiliki, ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa telah terjadi penyuapan,” ucapnya kepada kami. Selama bertugas di FBI, Debra mengatakan kalau sebelumnya pernah ada permohonan serupa dari Bangladesh dan selanjutnya ia pergi ke ibu kota negara itu di Dhaka bersamanya pengacaranya. Di sana, ia membantu menyibak kasus korupsi yang menyeret putra mantan Perdana Menteri Bangladesh di mana suap dibayarkan melalui para “konsultan” lokal dan pencucian uang di Singapura.
Menelusuri transaksi janggal yang telah dilakukan oleh Korindo Group itu, menurut Debra, bisa jadi relatif gampang dengan mempertimbangkan keterlibatan “pemain-pemain yang terbatas” dan mengikuti sebuah aliran dana. Jika KPK mengajukan permohonan kepada pihak yang berwenang di AS, mereka tentu punya wewenang untuk mendapatkan bukti tersebut di New York — semacam mencari bekas jejak digital dari transaksi itu melalui suatu sistem dengan waktu tujuh tahun ke belakang — dan mereka selanjutnya dapat menelusurinya.
“Misalnya, Anda membayar saya untuk ‘biaya konsultasi’, maka dana itu akan tersimpan di rekening bank saya untuk sementara waktu,” kata Debra. “Namun, seandainya dana itu kemudian dipakai untuk suap, maka dana itu akan pindah ke kantong-kantong para individu yang punya kekuasaan dan pengaruh (jabatan). Jadi, jika transaksi dilakukan dalam mata uang dolar, pihak AS mempunyai daya jangkau untuk melacak ke mana saja transfer uang itu dikirimkan.”
Apakah tebakan tersebut benar terjadi atau tidak, tentu itu tergantung pada temuan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia, Singapura, atau AS dalam memberikan prioritas pada upaya penyidikan lanjutan. Shruti Shah, Bruce Searby, dan Debra LaPrevotte sepakat untuk mengatakan bahwa transaksi janggal itu memang patut untuk ditelusuri. Dan kasus tersebut menurut mereka jauh lebih penting dibandingkan sekadar nilai transaksi sebesar AS$22 juta. Sebab, keuntungan yang jauh lebih besar justru diperoleh dari penjualan kayu-kayu hasil penebangan hutan dan produksi sawit yang meningkat. Begitu pula dengan efek-efek lain yang kemungkinan tidak bisa dinilai dalam bentuk uang. “Jangan hanya mengacu pada nilai uang ketika berpikir untuk menelusuri sebuah kasus,” kata Shah. “(Tetapi,) ini tentang berbagai hal yang memberikan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat yang tinggal di sana.”
“Ada banyak hal yang dipertaruhkan atas lingkungan dan cara hidup ribuan orang yang rentan terdampak.”
Bagi Searby, berbagai transaksi yang menyebutkan biaya konsultasi pada sektor perkebunan sawit “dengan nilai yang begitu besar dan tidak dapat dijelaskan,” sepatutnya menimbulkan kecurigaan bagi aparat penegak hukum. “Ada banyak hal yang dipertaruhkan atas lingkungan dan cara hidup ribuan orang yang rentan terdampak, sehingga Anda harus memberikan prioritas untuk mengecek situasi-situasi yang muncul terkait dengan adanya perpindahan dana dalam jumlah yang besar dan tidak dapat dijelaskan pada sektor-sektor terkait,” katanya.
Tanpa investigasi mendalam, kebenaran di balik transaksi janggal atas nama “biaya konsultasi” itu, tampaknya masih akan tetap menjadi bayang-bayang yang samar. Mungkin memang ada alasan yang sah atau logis untuk mengaitkannya pada struktur perusahaan yang telah dibuat oleh Korindo Group maupun cara terhadap bagaimana transaksi dengan PT PAL telah diatur. Namun, sebagian besar dari bisnis konglomerasi itu tetap saja terselubung di dalam kamar gelap tanpa cahaya. Berbagai penjelasan yang mereka utarakan serba kontradiktif dan sebagian pertanyaan kunci justru tidak terjawab. Maka, wajah mereka pun tetap tak bisa dilihat dengan jelas.
Artikel ini dibuat melalui dukungan dari Money Trail Project.
Untuk melihat artikel dan foto lain maupun menyaksikan film yang kami produksi, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Silakan bergabung ke dalam milis (mailing list) kami dengan mendaftar di sini.