Sudah jadi hal umum melihat praktik di lapangan dengan ada penjualan izin-izin sektor agribisnis dan ekstraktif di berbagai penjuru Indonesia.
Juni tahun ini, pilkada serentak 2018 akan berlangsung di 171 kabupaten dan kota dan provinsi di Indonesia. Idealnya, jutaan warga di negara demokrasi terbesar ketiga ini akan diberikan hak memilih pemimpin yang kelak menentukan dan membawa arah nasib mereka ke depan.
Kenyataannya, sebagian besar dari mereka dihadapkan pada para pasangan calon yang tengah menggadaikan sesuatu untuk kepentingan korporasi secara sembunyi-sembunyi. Banyak warga tak sadar, bahwa, mereka sebetulnya sedang memilih kandidat yang didukung perusahaan pelanggar hak asasi manusia (HAM) dan melakukan kerusakan hebat lingkungan.
Keterlibatan yang sepatutnya tak dilakukan korporasi terhadap pendanaan kampanye itu merupakan persoalan global. Dari negara-negara rapuh di Afrika Barat, sampai negara demokrasi mapan seperti Amerika Serikat, proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah kerapkali dibelokkan oleh hubungan antara politisi dan korporasi. Dalam dua dekade proses demokrasi di Indonesia, fenomena ini mengakar, sistemik, dan mendasari berbagai tantangan paling serius yang sedang dihadapi.
Menemukenali bagaimana kepentingan politik dan korporasi bisa bersatu, adalah kunci memahami mengapa begitu sedikit kemajuan dicapai dalam penyelesaian dua masalah paling mengerikan di Indonesia, yakni penghancuran lingkungan dan kian marak kemunculan (proliferasi) konflik lahan dan sumber daya alam.
Kedua krisis yang tak dapat terpisahkan itu tampaknya kian meluas karena tekanan korporasi terhadap politisi di daerah dan hubungan saling menguntungkan di antara mereka. Itu dimulai saat Indonesia memasuki tahun-tahun politik, terutama pilkada.
Transisi Indonesia menuju demokrasi mulai tahun 1998 dengan tumbangnya rezim diktator militer. Ketika itu, Presiden Soeharto menerapkan kontrol sangat ketat dan sentralistik, termasuk dalam urusan politik dan penguasaan sumber daya alam di Indonesia.
Setelah era Orde Baru, tumbang dan hegemoni pemerintah pusat ikut menyusut, giliran elit politik lokal bersama investor berlomba-lomba merebut kendali atas sumber daya yang bernilai miliaran dolar. Di masa lalu, para gubernur dan bupati/walikota yang muncul untuk memimpin di masing-masing daerah (kabupaten/kota maupun provinsi) di seluruh nusantara, awalnya dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pemilihan gubernur di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada Januari 2000, menampilkan potret nyata dari politik uang yang terjadi di dalam persaingan sengit antara para calon kepala daerah. Kalteng sendiri adalah provinsi kaya potensi sumber alam dan hutan di Pulau Kalimantan yang menjadi paru-paru dunia. Saat itu, lawan dari kandidat yang menang, membocorkan daftar 31 nama anggota dewan yang menerima cek perjalanan masing-masing Rp100 juta untuk memenangkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur tertentu.
Pada malam sebelum pemilihan, ada uang Rp50 juta dibagikan ke setiap anggota DPRD, bahkan masih ada lagi uang ngucur di hari pemilihan kepada mereka yang masih ragu dan hendak menggoyahkan pilihan.
Menurut laporan dari sebuah konsorsium lembaga swadaya masyarakat setempat, dikutip dari sebuah makalah akademis, pemodal yang mendanai kampanye itu ialah Abdul Rasyid. Setelah itu, pengusaha ini dengan leluasa mengambil kayu dari taman nasional di Kalteng.
Tahun 2005, perubahan besar terjadi dan mengubah wajah demokrasi di Indonesia dengan ada pilkada langsung. Rakyat mempunyai hak memilih sendiri kepala daerah masing-masing. Harapan bahwa kandidat tidak akan sanggup membeli suara dari konstituen seperti yang pernah mereka lakukan terhadap anggota parlemen, tampaknya keliru.
Justru, terjadi perpindahan kekuasaan secara dramatis terhadap kontrol atas tanah, tambang, maupun sumber alam lain dari para pemegang kebijakan di Jakarta kepada “raja-raja kecil” di daerah. Hal itu malah menyebabkan, nilai “upeti” yang diberikan makin membengkak. Dana-dana kampanye pun dilihat layaknya investasi yang berpotensi memberikan keuntungan bagi para pengusaha dan korporasi.
Kini, setelah 13 tahun berjalan, para pakar politik dan pengamat mendokumentasikan sejauh mana proses pemilu berlangsung, termasuk peran kunci dari permainan uang yang menyertai.
Sebuah buku berjudul Electoral Dynamics (2016), memperlihatkan proses pemilu legislatif tahun 2014. Pada buku itu diungkapkan, “Anggapan umum yang berkembang di media adalah bahwa para kandidat perlu memberikan uang tunai kepada pemilihnya, membagi-bagikan barang atau hadiah, dan menyuap… para pejabat di berbagai tingkatan di mana hal itu sebelumnya tidak pernah terjadi dalam sejarah politik elektoral di Indonesia.”
Sementara itu, dikutip dari buku lain berjudul Democracy for Sale yang akan diluncurkan tahun ini, mengutarakan, “Pertukaran berbagai dukungan maupun keuntungan material di seluruh tahapan siklus politik elektoral telah melekat kuat, hingga amat tepat mengatakan, bahwa demokrasi di Indonesia memang sedang dijual.”
Proses itu melibatkan banyak tindakan mahal dan melanggar hukum. Untuk mendapatkan surat suara, para kandidat harus memperoleh dukungan partai politik (parpol) mewakili sedikitnya seperlima kursi di DPRD. Ada saja oknum dari parpol yang mengenakan biaya terlampau tinggi. Secara halus, mereka menyebutnya dengan “mahar politik.”
Ward Berenschot, salah satu penulis buku Democracy for Sale, memprediksi, harga di daerah kaya sumber daya alam dapat mencapai nominal Rp1 miliar (sekitar US$72.000) untuk setiap kursi di parlemen. Pada Januari lalu, seorang calon gubernurmengakui kalau diminta membayar mahar politik Rp40 miliar (sekitar US$2,9 juta) untuk mendapatkan dukungan sebuah parpol.
Mereka yang ingin menghindari praktik mahar politik, dapat maju sebagai calon independen. Untuk bisa merealisasikan, kandidat independen harus sanggup mengumpulkan tanda tangan 6,5 sampai 10% dari jumlah pemilih terdaftar di daerah pemilihan. Pekerjaan itu tentu sangat menantang mengingat luasan dan jumlah populasi berbeda-beda di Indonesia.
Kenyataannya, hanya segelintir calon independen yang mampu memenuhi syarat itu. Pada provinsi yang relatif besar, misal, target tanda tangan dan salinan KTP yang harus dikumpulkan bisa mencapai 800.000 orang.
Abdon Nababan, aktivis senior dalam gerakan masyarakat adat, berjuang untuk maju sebagai calon independen di daerah asalnya, Sumatera Utara. Dia gagal mengumpulkan tanda tangan sesuai target dalam waktu sangat terbatas.
“Jika saya maju melalui parpol, akan ada banyak uang yang dibutuhkan,” kata Abdon. “Karena hampir semua parpol di Indonesia itu tidak benar-benar berlandaskan pada ideologi, melainkan transaksi-transaksi politik.”
Sebuah survei terhadap para calon kandidat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengidentifikasi, mahar politik merupakan komponen paling mahal dari sebuah kampanye politik. Pada proses awal, sejumlah calon berusaha mendapatkan dukungan dari berbagai pihak untuk memenangkan persaingan dengan nama-nama calon yang bakal muncul.
Tahapan selanjutnya, bisa jadi sama mahal karena mereka akan membagi-bagikan uang dan hadiah kepada para pemilih. Meski jumlah per kepala mungkin relatif kecil, tetapi biaya kumulatif dari praktik ilegal itu sangatlah mahal.
“Ternyata masyarakat melihat politik itu siapa yang suka kasih uang, kasih materi — itu lebih dominan,” kata Alfridel Jinu, mantan wartawan yang pernah maju dalam pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, tahun 2013. Dari tempatnya, dia mengutarakan dengan lantang, “Jadi siapa yang bisa memberi suplai konsumtif itu maka akan menjadi pilihan.”
Kandidat yang menang dalam pertarungan itu adalah Hambit Bintih yang kemudian dipenjara karena korupsi. Dia diduga telah “membeli” suara Rp300.000 per kepala (setara US$26). Di kabupaten dengan jumlah sekitar 60.000 pemilih, total biaya yang dikeluarkan lebih US$1,5 juta.
Di Sumatera Utara, provinsi di mana Abdon Nababan gagal mengumpulkan target suara sebagai calon independen, Edy Rahmayadi, seorang pensiunan jenderal yang pencalonannya sebagai gubernur didukung oleh beberapa partai politik, terekam dalam sebuah video yang memperlihatkan ia sedang membagikan uang di sebuah gereja sebelum Natal tahun lalu. Dia membantah itu terkait dengan kampanye pemenangannya. Edy mengklaim bahwa itu dilakukan hanya untuk “membantu anak-anak kecil.”
Jadi, perkiraan biaya pemenangan kepala daerah dalam pilkada, bisa dibilang mencapai puluhan miliar rupiah atau setara jutaan dolar. Menurut kajian KPK tahun 2016, prediksi biaya itu antara Rp20-Rp30 miliar.
Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas pernah mengungkapkan, pada majalah Tempo bahwa pemilihan kepala daerah di Jawa Tengah memerlukan biaya hingga Rp52 miliar.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memperkirakan, biaya pemenangan pilkada menelan angka hingga Rp75 miliar.
Tak ada batasan untuk belanja kampanye, kecuali hal itu berlaku lokal tetapi ada batas untuk donasi kampanye, yaitu Rp1 miliar per individu dan Rp4 miliar per lembaga atau perusahaan. Meski begitu, pada kenyataan, kontribusi bisa jauh melampaui ketentuan.
Berbagai kelemahan dan banyak celah luput dalam pemantauan, menyebabkan muncul situasi yang diibaratkan oleh Marcus Mietzner dengan “bahkan, pelanggaran paling mencolok sekali pun tidak diselidiki.”
Satu parpol, ungkap profesor dari Australian National University (ANU) itu, bisa membelanjakan uang hingga Rp100 miliar untuk iklan televisi saja pada pemilihan legislatif 2009. Parpol menggandakan sendiri seluruh anggaran yang dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Sedangkan sumber uang, tampaknya tetap tersembunyi dan dirahasiakan secara aman.
Tidak jarang, para calon mempertaruhkan tabungan mereka sendiri sebagai modal kampanye atau ada pula yang sampai berutang. Kalaupun ada, sangat sedikit dari mereka yang cukup kaya untuk memodali sendiri keseluruhan biaya kampanye politik.
“Mustahil bagi mereka menutupi biaya dari kantong sendiri,” kata Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. “Itu pasti dari donor korporat.”
KPK mewawancarai 450 dari hampir 800 pasangan calon yang ikut dalam pilkada 2015. Dua pertiganya melaporkan, para pemodal yang membiayai kampanye politik mereka, meminta balasan sebagai imbal jasa. Hal itu dapat berupa kontrak-kontrak dengan pemerintah, pekerjaan, kebijakan, dan izin bisnis.
Sejalan diutarakan Mietzner. “Kandidat yang berhasil menduduki jabatan… menganggap ‘pos baru’ mereka itu sebagai utang yang penting atau suatu kewajiban untuk melayani kepentingan sponsor mereka.”
Ketika kepentingan para calon terkonsentrasi pada jumlah pemilih atau area tertentu (konstituen), wakil perusahaan atau bisnis keluarga sudah siap menaruh orang di sana. Saat dua kepentingan berbeda (politik dan bisnis), bertemu pada suatu titik, sesungguhnya ia bisa jadi momentum korporasi mendapatkan dan memainkan kekuasaannya. Perusahaan bisa efektif mengambil jabatan politik itu sendiri.
Gubernur Kalteng yang menjabat sekarang, Sugianto Sabran, adalah keponakan Abdul Rasyid. Kini, Rasyid dikenal sebagai miliarder dengan sumber kekayaan dari perkebunan sawit.
Contoh lain, ada Gubernur Lampung, Muhammad Ridho Ficardo. Dia tak lain putra direktur di Sugar Group Companies, sebuah perusahaan induk dari perkebunan dan pabrik gula.
“Kedekatan dengan perusahaan, saya bukan dekat, itu keluarga saya,” kata Ridho menanggapi pertanyaan tentang sangkut paut dirinya dengan perusahaan itu. “Tidak ada yang minta dilahirkan jadi anak raja.”
Setelah Ridho menang pilkada pada 2014, bisa jadi angin segar bagi kelanjutan izin-izin perusahaan perkebunan itu, di mana karung-karung gula berukuran besar berhias foto dirinya dibagi-bagikan kepada pemilih disertai uang tunai. Pengamat setempatmemperkirakan bahwa proses pilkada telah menelan biaya hingga Rp500 miliar.
Begitu menjabat, ada banyak cara bagi pemenang yang duduk di tampuk kepemimpinan mengatur pembayaran “balas jasa” kepada para donatur sekaligus mempersiapkan amunisi untuk pemenangan pada kampanye politik di putaran kedua.
Mereka bisa saja menggelembungkan harga-harga proyek infrastruktur dan memberikan kontrak-kontrak yang menguntungkan perusahaan yang berada di bawah kendali sanak keluarga maupun kroni-kroninya. Mereka dapat mengeruk uang melalui penggelembungan biaya pengadaan alkes (peralatan rumah sakit) atau tanker minyak. Politisi di daerah-daerah yang kaya tambang dan mineral, telah memainkan kendali strategis atas izin-izin yang dikeluarkan untuk pertambangan.
Bagi para bupati yang mengambil alih kendali di daerah-daerah dengan ekonomi yang relatif stagnan dan pembangunan infrastruktur lemah, tanah merupakan komoditas paling berharga yang bisa mereka gadaikan. Izin-izin perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan, biasa dijual pada kisaran US$400-US$1.200 per hektar atau sekitar Rp5,2 juta sampai 15,6 juta per hektar. Para bupati dapat menerbitkan izin-izin terhadap ribuan hektar lahan sekaligus kepada siapa saja yang mereka inginkan.
Jadi, bukanlah suatu kebetulan jika pada awal penyelenggaraan pilkada langsung disertai praktik pembelian suara secara massal tahun 2005, diikuti juga fenomena yang membuntuti, yaitu ledakan perkebunan sawit. Tingkat ekspansi perkebunan sawit di Kalimantan setelah tahun 2005, terbukti menunjukkan peningkatan hingga empat kali lipat lebih 3.750 kilometer persegi per tahun.
Ekspansi perkebunan sawit punya konsekuensi lain yang harus dibayar dengan harga tak ternilai. Kebun sawit memicu penghancuran hutan hujan di Indonesia dan membawa negara ini masuk dalam peringkat atas daftar penghasil emisi karbon global. Ekspansi sawit juga menjerumuskan ribuan desa ke konflik dengan desa-desa tetangga mereka, dengan pemerintah, dan perusahaan yang telah merampas tanah mereka.
Mongabay dan The Gecko Project menyelidiki seluk beluk korupsi yang mendorong penerbitan izin-izin untuk perusahaan perkebunan. Dalam dua kasus yang kami paparkan ini, kami menemukan ada hubungan langsung antara ekspansi lahan perkebunan dan korupsi dalam politik elektoral. Temuan ini menunjukkan, situasi yang mempertegas ada praktik-praktik korupsi berakar kuat pada persoalan deforestasi dan konflik lahan selama ini.
Kasus pertama yang kami telusuri, adalah kasus Bupati Seruyan, Kalimantan Tengah, yang menerbitkan izin-izin kepada 18 perusahaan cangkang yang didirikan keluarga dan kroni-kroninya. Perusahaan cangkang adalah sebutan bagi perusahaan aktif, tetapi terlihat tak memiliki operasi bisnis maupun aset signifikan dan dicurigai sebagai tempat persembunyian atas usaha lain. Pada waktu relatif cepat, perusahaan-perusahaan ini berpindah tangan jadi milik dua perusahaan sawit terbesar di Indonesia dengan nilai mencapai jutaan dolar**.** Anak dari bupati itu, menjual salah satu perusahaan hanya dalam waktu tiga bulan sebelum ayahnya maju. Pertarungan di daerah pun dirusak tuduhan politik uang.
Pada kasus kedua, seorang bendahara kampanye Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, diketahui menjual lima perusahaan ke perusahaan sawit Malaysia pada bulan-bulan mendekati pemungutan suara. Dugaan biaya kampanye politik membengkak hingga Rp97,2 miliar. Sebagian dari uang itu kemungkinan besar untuk menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar agar mengeluarkan keputusan yang menguntungkan pihak bupati.
Tak dapat dibantah lagi. Dua kasus yang dipaparkan itu setidaknya memberikan bukti bahwa korupsi memainkan peran begitu luar biasa dalam mendorong deforestasi dan konflik lahan.
Di Seruyan, korupsi berujung pada perluasan lahan untuk perusahaan perkebunan sawit secara dramatis. Namun, masyarakat tak mendapat manfaat ekonomi dari kehadiran sawit. Sedangkan di Gunung Mas, bupati menerbitkan izin-izin di banyak kawasan perbatasan desa. Masyarakat desa pun memprotes perkebunan yang hendak merampas hutan-hutan tempat hidup mereka.
Ada indikasi kuat, praktik serupa tersebar luas di berbagai penjuru Indonesia. Tampaknya hal itu masih ditutup rapat dan seolah jadi “rahasia” umum. Belum ada data komprehensif menguatkan indikasi ini.
Meski begitu, belakangan KPK mengadili para kepala daerah yang memperdagangkan izin-izin melalui suap. Baru-baru ini, pada Oktober lalu, Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, jadi terdakwa kasus gratifikasi perizinan perusahaan perkebunan Rp6 miliar. Ibu dari Rita, Dayang Kartini, adalah pemegang saham terbesar di perusahaan berbeda yang mengoperasikan banyak pertambangan batubara di kabupaten sama.
Di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Íyang maju menggantikan ayahnya sebagai bupati, Morkes Effendi, diyakini membiayai kampanye politik dengan menjual izin-izin pertambangan yang melekat pada sejumlah perusahaan cangkang. Lalu, ada pula seorang bupati di Sumatera, Tengku Azmun Jaffar, menggunakan perusahaan cangkang dan memandatkan anggota keluarga (sebagai proksi)-dengan kekuasaan yang dipegangnya-untuk memuluskan jalan bagi serangkaian perkebunan kayu.
Dari kasus-kasus yang terungkap maupun wawancara dengan sejumlah pejabat pemerintah, eksekutif perusahaan, dan pengacara, dapat disimpulkan, korupsi terjadi tampak dari, antara lain, pertama, penggunaan perusahaan cangkang tak bisa ditelusuri asal-usul aktivitas bisnis. Perusahaan cangkang ini sebagai saluran menjual izin-izin kepada investor yang sesungguhnya.
Kedua, izin dipercepat atau diterbitkan tanpa pemenuhan prasyarat sesuai hukum, seperti analisis dampak lingkungan. Ketiga, sejumlah besar izin untuk anak perusahaan dari satu grup bisnis dalam waktu singkat. Keempat, izin keluar oleh politisi yang kemudian divonis bersalah atas pelanggaran korupsi lain. Kelima, izin yang diterbitkan atau dijual saat kampanye menjelang pencoblosan.
Mungkin bisa jadi ada alasan yang masuk akal dalam beberapa hal tetapi dari kasus-kasus yang dipaparkan, jadi sangat jelas bahwa memang ada persekongkolan antara politisi, perusahaan, dan perantara yang melakukan pemindahan aset antara mereka.
Analisis kami terhadap basis data izin-izin yang dikeluarkan pemerintah dan sejumlah dokumen perusahaan, menunjukkan, mereka tersebar luas di seluruh kabupaten yang paling banyak ditargetkan oleh perusahaan-perusahaan sawit raksasa sebagai pemain utama.
Berbagai ancaman paling signifikan terhadap hutan Indonesia yang muncul beberapa tahun terakhir, sebetulnya sudah jadi peringatan keras yang tak bisa diabaikan. Di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Bupati Theddy Tengko mengeluarkan izin 28 perkebunan tebu di lahan 4.800 kilometer persegi. Ia terjadi rentang waktu lima bulan menjelang pemungutan suara– di mana dia berharap mempertahankan kursi.
Lalu, izin terakhir datang lima hari sebelum pencoblosan. Izin-izin ini tampak begitu dipaksakan segera terbit dan keluar tanpa ada analisis dampak lingkungan sesuai aturan hukum.
Theddy kemudian divonis bersalah karena menggelapkan uang Rp43 miliar dari anggaran daerah.
Ekspansi sawit jadi ancaman terbesar bagi hutan Indonesia. Di Papua, izin-izin untuk perkebunan sawit dikeluarkan Bupati Yusak Yaluwo yang kemudian dipenjara karena kasus penggelapan dana Rp67 miliar. Sementara rencana proyek di Kepulauan Aru berhasil dikalahkan gerakan massif masyarakat sipil di kalangan akar rumput. Sedang, proyek di Papua terus berlanjut. Sejauh ini, belum ada tindakan hukum yang diambil.
Di balik potret politik kotor, harapan masih tetap ada. Sejumlah kepala daerah lain bermain dengan melawan arus. Mereka melakukan kampanye dengan program dan kebijakan yang populer, seperti subsidi layanan kesehatan. Mereka juga tak segan-segan untuk menolak bujuk rayu korporasi ketika menjabat. Para kepala daerah seperti itu, sayangnya, relatif lebih banyak di kawasan perkotaan yang memiliki corak ekonomi campuran atau relatif beragam, di mana tak ada satu kepentingan terlihat mendominasi.
Contoh nyata itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memulai karier politik sebagai Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, kemudian sebagai Gubernur Jakarta. Para penulis buku Democracy for Sale, berpendapat, pemimpin-pemimpin serupa Jokowi sangat kecil kemungkinan muncul di tempat-tempat yang memiliki corak ekonomi terkonsentrasi pada satu atau segelintir sektor utama.
Kondisi itu, menurut mereka, cenderung terjadi di daerah perdesaan maupun kawasan hutan di mana agribisnis dan industri ekstraktif tampak begitu menonjol.
Ada beberapa bukti untuk menunjukkan bahwa kandidat yang lebih mementingkan kepentingan rakyat atau publik memiliki peluang untuk menang. Mereka yang berhasil mengambil hati rakyat, dapat menyingkirkan kepentingan perusahaan yang sudah mengakar. Untuk bisa mendukung situasi itu dan memecah hegemoni persekongkolan mafia-mafia di daerah, perlu intervensi jauh lebih besar. Itu tak hanya dilakukan KPK, juga partisipasi masyarakat sipil. Beberapa perkembangan progresif di bidang hukum belakangan ini bisa mendukung kerja-kerja melawan korupsi.
Saat ini, banyak pejabat publik, termasuk lebih dari 70 kepala daerah, dipenjara atas kasus penyuapan. Tetapi, masih belum banyak penyidikan dan penyelidikan mampu mengungkap perusahaan-perusahaan yang menjadi ujung tombak dari praktik-praktik korupsi di daerah.
Masalah ini sebetulnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung №13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi (Perma 13/16). Perma 13/16 bisa dikatakan membawa perubahan radikal dalam penegakan hukum. Peraturan ini, menghilangkan hambatan hukum yang dihadapi KPK dalam meminta pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan yang selama ini banyak melarikan diri atau berdalih dari konsekuensi atas bukti keterlibatan mereka dalam kasus-kasus korupsi.
Peraturan Presiden №13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Perpres 13/18) keluar Maret ini. Ia bisa digunakan untuk mengungkap siapa sesungguhnya penerima manfaat dari perusahaan dan mengurangi kemampuan politisi kongkalikong dengan perusahaan maupun kroni-kroni yang tak lain adalah sanak keluarga mereka sendiri. Perpres ini diharapkan dapat memandatkan peninjauan situasi terhadap izin-izin perkebunan sawit.
Investigasi kami menunjukkan, hambatan penegakan hukum sebetulnya tak melulu mengacu pada keterbatasan payung hukum, ada juga tekanan politik dialami KPK. Jadi, amat penting mempertimbangkan kapasitas dan beban yang diemban lembaga ini dalam memburu para pelaku kejahatan tindak pidana korupsi.
Bisikan-bisikan dari perusahaan perkebunan untuk bisa melanggengkan ekses-ekses bisnis, tampaknya sama-sama kuat dengan gerakan masyarakat sipil yang tanpa henti melawan upaya perusakan hutan dan perampasan lahan.
Pertanyaannya, apakah dengan situasi carut marut antara politik elektoral maupun krisis lingkungan dan sosial ini, bisa berdampak pada impunitas yang terus berlanjut?