- Investigasi yang dilakukan bersama oleh The Gecko Project, BBC News dan Mongabay menemukan bahwa masyarakat berpotensi kehilangan triliunan rupiah setiap tahun karena perusahaan sawit gagal mematuhi peraturan yang mewajibkan mereka membangun plasma.
- Skema plasma dibuat untuk mengangkat masyarakat keluar dari kemiskinan. Tapi malah menjadi sumber utama pergolakan di seluruh negeri karena intervensi pemerintah gagal memaksa perusahaan untuk memenuhi komitmen dan kewajiban hukum mereka.
- Minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang dituduh mengambil keuntungan dari masyarakat membanjiri rantai pasok perusahaan-perusahaan barang konsumsi besar seperti Kellogg’s dan Johnson & Johnson. Beberapa dari mereka telah berjanji akan mengambil langkah untuk menyelidiki.
Bagian 1: ‘Sudah diambil semua’
Penduduk asli Desa Tebing Tinggi di Sumatera Selatan berharap untuk kehidupan lebih sejahtera ketika mereka setuju melepaskan tanah ulayatnya kepada sebuah perusahaan kelapa sawit pada 1995. Mereka, Suku Anak Dalam, menggantungkan hidup pada hutan untuk tempat bercocok tanam, mengumpulkan buah-buahan dan berburu.
Kesepakatan itu seharusnya membawa berkah bagi mereka karena keuntungan industri sawit yang saat itu sedang berkembang pesat di seantero Sumatera.
Perusahaan yang mengambil alih tanah mereka adalah PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra, biasa disebut PT Lonsum. Menurut Suku Anak Dalam, mereka diberi tahu bahwa lebih dari separuh lahan yang dilepas itu akan dikembalikan kepada mereka setelah tertanami sawit, sebuah tanaman dagang ajaib yang permintaan akan minyaknya saat itu sedang melonjak di seluruh dunia. Skema kemitraan antara perusahaan dan masyarakat ini seharusnya sama-sama menguntungkan kedua pihak, di mana panenan sawit yang dihasilkan kebun rakyat Suku Anak Dalam akan dibeli oleh perusahaan.
“Janji ini tadi bohong,” kata Mat Yadi, kepala suku Suku Anak Dalam kepada kami. “Enggak ada dikembalikan lagi ke kami. Sudah diambil semua.”
Selama lebih dari seperempat abad, kelapa sawit milik PT Lonsum tumbuh menjulang, menghasilkan berton-ton buah berwarna oranye terang yang membanjiri pabriknya, menghasilkan minyak sawit bernilai miliaran rupiah. Namun Suku Anak Dalam tak pernah mendapatkan kebun yang dijanjikan. Mereka tak hanya kehilangan keuntungan yang diharapkan, tapi juga tanah.
Kini banyak warga dari Suku Anak Dalam tinggal di gubuk-gubuk kecil di dalam perkebunan. Untuk mencari nafkah, mereka hanya bisa memungut brondolan, buah sawit yang terlepas dari tandannya, saat panenan.


Pengalaman pahit Suku Anak Dalam bukanlah kisah antah-berantah.
Perkebunan rakyat telah menjadi bagian penting dalam industri kelapa sawit Indonesia sejak 1980-an. Perusahaan swasta sering kali berjanji bakal membagi sebagian perkebunan mereka kepada penduduk sekitar demi mendapat dukungan lokal dan mengakses subsidi pemerintah. Bagian kebun untuk masyarakat ini disebut plasma.
Secara hukum, menyediakan plasma menjadi kewajiban perusahaan sejak 2007. Perusahaan harus menyediakan seperlima dari total areal setiap kebun yang baru dibuka untuk masyarakat.
Skema ini bisa mengangkat masyarakat pedesaan keluar dari kemiskinan kalau terlaksana dengan baik karena akan mendapat bagian dari industri yang nilainya secara global mencapai lebih dari US$ 50 miliar, atau lebih dari Rp 700 triliun, setiap tahun.
Namun plasma hanya menjadi isapan jempol bagi ribuan keluarga Indonesia. Investigasi oleh The Gecko Project, Mongabay dan BBC News menemukan bahwa masyarakat di berbagai daerah berpotensi kehilangan triliunan rupiah setiap tahun karena keuntungan dari industri sawit mengalir ke para konglomerat. Industri sawit pun diliputi pertentangan seputar kebun plasma yang telah menjadi sumber utama pergolakan di berbagai daerah Nusantara. Anak-anak perusahaan dari hampir semua perusahaan sawit raksasa telah dituding mengingkari janji atau gagal memenuhi kewajiban mereka untuk membagi kebun kepada penduduk sekitar.
“Itu kan contoh itu, banyak di mana-mana,” kata Daniel Johan, seorang anggota Komisi IV DPR RI yang mengawasi sektor pertanian, ketika membahas kasus Tebing Tinggi. “Ujung-ujungnya, namanya perusahaan-perusahaan besar ya, serakah.”
Sebenarnya sudah ada banyak tanda yang memperingatkan bahwa ada yang tidak beres dalam program kebun plasma selama bertahun-tahun. Begitu industri sawit menyapu seantero Indonesia, mengubah jutaan hektar lahan menjadi hamparan sawit, merebak pula cerita-cerita masyarakat yang merasa ditipu.
Namun seberapa meluas masalahnya serta jumlah kerugian yang dialami oleh rakyat Indonesia masih belum jelas.

Kami berupaya untuk mengisi kekosongan itu. Selama tiga tahun belakangan, kami memetakan dan menyigi tuduhan-tuduhan terkait plasma dari banyak komunitas warga terhadap ratusan perusahaan sawit. Kami pergi ke puluhan desa yang tersangkut sengketa plasma dengan 27 perusahaan yang beroperasi di tiga pulau terbesar Indonesia. Kami mewawancarai lebih dari 200 orang penduduk desa, pegawai pemerintah, akademisi, aktivis, dan pegawai perusahaan.
Analisis kami terhadap data terbaik pemerintah yang tersedia menunjukkan gambaran yang suram. Perusahaan-perusahaan perkebunan sepertinya telah gagal menyediakan ratusan ribu hektar kebun plasma bagi masyarakat. Di satu provinsi saja, kami memperkirakan warga desa merugi lebih dari Rp 1 triliun setiap tahunnya.
Sementara itu, banyak taipan di balik perusahaan-perusahaan sawit terbesar Indonesia telah menjadi hartawan dengan kekayaan triliunan rupiah. Sementara Suku Anak Dalam hidup penuh sengsara, Anthoni Salim — penguasa konglomerat yang kini mendulang untung dari tanah ulayat Suku Anak Dalam — telah menjadi orang terkaya ketiga di Indonesia, dengan kekayaan mencapai sekitar Rp125 triliun.
Hasil pemeriksaan oleh dua badan pemerintah telah membunyikan tanda bahaya terkait plasma. Pemeriksaan pertama, rampung pada 2019, mengungkapkan bahwa negara telah gagal mengawasi kepatuhan perusahaan terhadap peraturan tentang plasma. Yang kedua, pada 2020, menyimpulkan bahwa peraturan yang berlaku tentang kemitraan telah memungkinkan perusahaan untuk “eksploitasi” petani dalam skema plasma.
Meski demikian, investigasi kami menemukan bahwa upaya pemerintah untuk menangani kasus per kasus atau memperbaiki sistem kemitraan tersebut masih sangat lemah dan mandul. Akibatnya, perselisihan seputar plasma sawit berlarut-larut selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.
Jalan buntu terus berlanjut hingga memicu pergolakan di berbagai daerah. Puluhan komunitas warga melancarkan protes setelah gagal memperoleh kebun plasma melalui saluran-saluran demokrasi formal. Mereka menggelar demonstrasi di jalanan, berunjuk rasa di kantor-kantor pemerintahan, memblokade jalan, hingga menduduki perkebunan. Selama lima tahun terakhir, kejadian-kejadian seperti ini terjadi rata-rata lebih dari sekali dalam sebulan.
Para pengunjuk rasa menghadapi kekerasan aparat kepolisian. Beberapa dari mereka dipenjara karena menyegel kantor perusahaan atau membakar gedungnya.
Kami juga menemukan, bahkan perusahaan penghasil minyak sawit terbesar Indonesia, Golden Agri-Resources, pun gagal memenuhi kewajiban untuk membangun plasma di beberapa perkebunannya, padahal perusahaan ini telah memoles nama baiknya melalui suatu komitmen kondang untuk menghentikan “eksploitasi” terhadap masyarakat lokal.
Dalam sebuah wawancara, para petinggi Golden Agri mengakui kegagalan tersebut dan mengatakan bahwa mereka “tetap berkomitmen” untuk membangun plasma. Susanto Yang, penanggung jawab kebun Golden Agri di Kalimantan Barat, mengatakan bahwa mereka menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang menghambat pembangunan plasma secara tepat. “Kita ingin cepat, tapi kita juga ingin tidak melanggar prosedur,” katanya.
Sebagian penduduk lokal harus menunggu lebih dari satu dekade hingga Golden Agri membangun plasma.
Perusahaan-perusahaan juga beralasan kalau kegagalan menyediakan plasma karena kurangnya lahan yang cocok, sekalipun kebun mereka membentang ribuan kilometer persegi di seantero Indonesia.
Selama dasawarsa terakhir, perusahaan perkebunan sawit telah mendapat sorotan tajam karena perampasan tanah masyarakat adat dan pembalakan hutan hujan di mana orangutan merangkak dari puing-puing habitatnya yang hangus. Sorotan-sorotan ini telah memaksa mereka untuk berkomitmen pada perubahan yang lebih baik. Sebagian besar perusahaan penghasil maupun penyalur sawit kini mengeklaim mereka tidak akan lagi melakukan pembalakan hutan dan “mengeksploitasi” penduduk sekitar.

Namun, tekanan belum cukup kuat diberikan kepada perusahaan perkebunan terkait penyediaan plasma, untuk memastikan mereka membagi keuntungan dengan penduduk lokal di Indonesia, penghasil sawit terbesar. Karena kelemahan ini tidak tampak, minyak sawit yang cemar dengan masalah ini pun dengan mulus membanjiri rantai pasok perusahaan-perusahaan besar barang konsumsi seperti Kellogg’s, Nestlé, dan Unilever.
Setelah kami paparkan ringkasan temuan-temuan kami, enam perusahaan besar barang konsumsi menyatakan bakal berkoordinasi dengan para pemasok sawit untuk memastikan apakah mereka sudah memenuhi kewajiban membangun plasma.
Saat ini perusahaan-perusahaan penghasil barang konsumsi dan produsen minyak sawit terus meraup untung dari sebuah industri yang keseluruhan nilainya mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Namun, penduduk lokal seperti Suku Anak Dalam masih harus terus menunggu untuk mendapatkan apa yang telah dijanjikan kepada mereka sejak 1995.
“Untuk saat ini hanya plasma yang dapat menjamin hidup SAD [Suku Anak Dalam], karena SAD tidak ada lagi mata pencahariannya,” kata Mustika Yanto, seorang pengacara yang mengaku putra daerah Tebing Tinggi. “Maka harapan terakhir SAD yakni plasma yang dijanjikan PT Lonsum.”

Bagian 2: ‘Sarana ajaib untuk mengentaskan kemiskinan’
Belilah suatu produk di supermarket sekarang, kemungkinan Anda akan menemukan kandungan minyak sawit di dalamnya.
Kalau Anda menelusuri rantai pasokannya, Anda akan menemukan buah berwarna oranye terang dari pohon kelapa sawit yang kemungkinan besar ada di Indonesia. Pohon itu mungkin berada di sepetak kebun kecil yang dibudidayakan oleh petani kecil, atau di sebuah perkebunan raksasa milik perusahaan.
Ketika industri sawit mulai benar-benar berkembang di Indonesia pada 1980-an, gagasan awalnya adalah sebagian besar kelapa sawit akan dibudidayakan oleh petani kecil.
Memang banyak perusahaan membuka perkebunan, tetapi biasanya hanya menyisihkan 20–30 persen lahan untuk mereka kelola. Sebagian besar lahan dibagi menjadi petak-petak kecil yang disebut “plasma” dan diserahkan kepada masyarakat asli setempat serta pendatang tak bertanah yang dipindahkan oleh pemerintah dari daerah-daerah padat penduduk melalui program transmigrasi.
Secara teori, skema plasma dapat mengentaskan kemiskinan sekaligus menciptakan pasokan tenaga kerja yang stabil bagi perkebunan. Perusahaan bisa mendapat untung dari kebun yang dikelola sendiri serta dari minyak sawit yang mengalir dari pabrik penggilingan.
Hidup di perkebunan sangatlah berat. Para petani plasma terlilit utang untuk ongkos awal memulai berkebun. Utang ini menggerogoti keuntungan mereka hingga satu dasawarsa dan kebun mereka umumnya juga terlalu kecil sehingga tak cukup untuk menopang hidup mereka, menurut para peneliti yang mengkaji skema awal plasma. Banyak transmigran lantas menjual kebun dan kembali ke desa asal.
Tapi plasma juga bisa mengubah hidup mereka lebih sejahtera, terutama bagi yang berhasil melewati tahun-tahun paceklik. Ketika tanaman sawit mencapai puncak produktivitas, sebagian petani dapat meraup penghasilan berlipat ganda dari upah minimum. Keluarga-keluarga yang dulunya miskin lantas bisa beli sepeda motor, membangun rumah yang kokoh, dan menyekolahkan anak-anak mereka.

“Jika diterapkan dengan baik, skema ini bisa dipastikan dapat membantu mengentaskan kemiskinan,” kata Idsert Jelsma, seorang konsultan yang pernah meneliti petani plasma sawit lebih dari sepuluh tahun. “Dulu plasma menjadi sarana ajaib untuk membantu masyarakat. Dan sekarang pun masih bisa begitu.”
Seiring waktu, pemerintah makin melepaskan kendali pengelolaan perkebunan, menyetel sistemnya untuk memacu investasi swasta. Pada akhir 2000-an, ketika harga minyak sawit melonjak, perkebunan sawit meluas di seantero negeri dengan laju lebih dari 300.000 hektar per tahun.
Beberapa perusahaan membuka perkebunan dengan mengambil alih tanah masyarakat begitu saja, tanpa memberi imbalan apa pun. Masyarakat lokal tidak memiliki hak kepemilikan yang kuat atas lahan. Sedangkan perusahaan-perusahaan yang memegang izin usaha perkebunan mudah saja mencaplok hutan dan lahan pertanian tanpa persetujuan masyarakat, kadang dengan sokongan polisi atau tentara. Tapi umumnya perusahaan masih menawarkan skema kemitraan kebun plasma guna mendapatkan dukungan masyarakat setempat.
"Plasma selalu menjadi bagian paket yang mereka janjikan," kata Marcus Colchester, aktivis yang juga seorang antropolog dari Forest Peoples Programme yang pernah bekerja bersama masyarakat adat di Indonesia selama tiga dasawarsa.

Selama 2000-an, pemerintah makin lepas tangan, membagi-bagikan izin kepada perusahaan dan membiarkan mereka mengelola skema plasma dengan caranya sendiri. Tapi pemerintah tetap berupaya memastikan masyarakat tetap mendapat manfaat dengan memberlakukan aturan terkait plasma yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007. Aturan ini mewajibkan setiap perusahaan perkebunan mengalokasikan 20 persen lahannya sebagai plasma.
Menurut para pengamat, pada saat itu perkebunan berkembang dengan satu model pengelolaan yang menonjol dimana petani tidak berperan aktif di kebun plasma. Perusahaan mempekerjakan buruh upahan untuk merawat kebun plasma, sembari memberi tahu para petani plasma bahwa mereka cukup duduk manis saja dan keuntungan dengan sendirinya akan mengalir ke rekening mereka. Alasannya, perusahaan-perusahaan besar, yang punya modal dan pengetahuan, bisa mengelola perkebunan lebih efisien ketimbang warga.
“Pemerintah makin neoliberal dan akhirnya membebaskan perusahaan perkebunan jalan sendiri,” kata Lesley Potter, dosen tamu di Australian National University yang meneliti petani plasma Indonesia.
“Dan tentu saja mereka suka dengan keleluasaan itu, sampai tiba waktunya mereka memutuskan untuk menyingkirkan petani plasma.”

Bagian 3: Satu dasawarsa unjuk rasa
Hingga Januari 2017, sudah dua dekade lamanya Suku Anak Dalam menanti PT Lonsum memenuhi janjinya. Tekanan yang dilancarkan melalui pemerintah kabupaten tidak membuahkan hasil. Pada 2015, dengan diperantarai oleh pejabat daerah, PT Lonsum meneken komitmen baru untuk membangun plasma. Tapi setelah 16 bulan, kebun plasma tak kunjung hadir.
Sebagian penduduk desa memutuskan untuk menduduki perkebunan. Mereka mendirikan pondokan di dalam perkebunan, tinggal di sana sebagai bentuk protes. Tetapi keesokan harinya, kabar menyebar bahwa PT Lonsum telah merobohkan pondokan mereka.
Kemarahan penduduk memuncak ketika mereka berkumpul di Tebing Tinggi. “Jika tidak ada penyelesaian pada hari ini kito langsung bakar. Kito bakar dulu pos sekuriti Lonsum sebagai peringatan,” seru seorang lelaki di hadapan kerumunan warga, sebagaimana tercatat dalam dokumen putusan pengadilan atas tuntutan terhadapnya di kemudian hari.
Warga menaiki pikap dan sepeda motor berombongan, mendatangi pos keamanan di dalam areal perkebunan. Mereka melemparinya dengan batu, sebelum menyiramnya dengan bensin dan membakarnya.

Mereka lantas bergeser ke kantor perusahaan, merusak jendela dengan batu dan parang. Mereka menumpuk daun kelapa sawit kering di bangunan itu dan membakarnya, lalu melemparinya dengan kantong plastik berisi bensin. Terekam dalam video amatir, bangunan itu berselimut asap dan kobaran api.
Esok harinya, menjelang malam, satuan polisi diturunkan di Tebing Tinggi.
Lina, seorang perempuan Suku Anak Dalam berusia 30-an, sedang berada di rumah bersama keluarganya ketika polisi mendobrak pintu rumahnya. Ia digelandang ke kantor polisi bersama 40 lebih warga lainnya.
“Pikirannya takut. Paling mikir anak, kalau dipenjara, bagaimana anaknya,” ungkap Lina kepada kami.
Hingga 2017, media-media di seluruh Indonesia ramai-ramai memberitakan tentang tudingan masyarakat lokal terhadap perusahaan-perusahaan sawit yang mangkir dari kewajiban membangun plasma. Namun semua berita itu nyaris senada dalam menggambarkan tudingan-tudingan masyarakat sebagai kasus-kasus terpisah — tentang satu kelompok masyarakat yang terlibat dalam sengketa dengan satu perusahaan.

Untuk melihat gambaran yang lebih besar, kami mengumpulkan artikel-artikel berita Indonesia tentang perselisihan terkait plasma yang terbit selama sepuluh tahun terakhir. Kami juga menghimpun tudingan-tudingan terkait yang tercatat dalam makalah akademis, laporan dari kelompok advokasi, pernyataan resmi di situs pemerintah, dan sumber-sumber daring lainnya.
Data yang terkumpul mengungkap bahwa tudingan-tudingan itu telah mengarah pada 155 perusahaan perkebunan sawit atas kegagalan mereka menyediakan plasma selama sepuluh tahun terakhir. Jumlahnya yang sangat banyak mengisyaratkan bahwa kegagalan perusahaan menyediakan plasma bukanlah kasus yang terpisah-pisah, melainkan masalah sistematis yang dapat berdampak terhadap ratusan desa serta ribuan rakyat di seluruh Nusantara.
Pembuktian atas semua tudingan tersebut berada di luar cakupan penyelidikan kami. Namun, dengan menelisik 52 kasus secara lebih mendalam, berdasarkan informasi publik serta wawancara dengan warga terdampak, kami bisa mengungkapkan dua fenomena yang muncul.
Pertama, perusahaan-perusahaan sawit awalnya memang berkomitmen untuk menyediakan plasma — baik ketika dimandatkan secara hukum maupun tidak — dan kemudian, menurut keterangan warga, mereka mengingkari janji itu selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Kedua, perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin setelah 2007 gagal memenuhi mandat hukum untuk menyediakan plasma.

Di balik gelombang besar kasus-kasus itu tersimpan banyak kisah manusia, tentang warga desa yang terbuai mimpi, hanya untuk kehilangan tanah dan mata pencaharian, dengan sedikit atau bahkan tanpa imbalan sama sekali.
“Pada awalnya, sangat manis sekali janji mereka,” kata seorang warga bernama Yustenli Duli saat kami wawancarai di kampungnya di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, tempat berlangsungnya protes pada 2017. “Bahwa anak kami nantinya bisa sekolah sampai ke luar negeri … Jadi, pada waktu itu masyarakat sudah terbuai mimpi-mimpi manis bahwa masa depan mereka tidak akan susah.”
Dua belas tahun berlalu, janji hanya sebatas janji, kata Yustenli, kebun plasma tak kunjung ada.
Merebaknya aksi-aksi protes masyarakat menggambarkan betapa putus asanya mereka karena kasus-kasus yang dialami berlarut-larut tanpa penyelesaian. Mereka pun memblokade jalan dan pabrik sawit, menyita kendaraan perusahaan, hingga menduduki perkebunan. Protes pun makin membesar, hingga ratusan atau bahkan ribuan orang berunjuk rasa di depan kantor-kantor pemerintahan.

Keputusan untuk mengambil tindakan langsung mengandung risiko hukum. Di Kalimantan Barat, Herkulanus Roby, seorang petani berusia 30-an awal, turut memimpin ratusan petani mendatangi kantor perusahaan sawit dan menyegel pintunya.
Berdasarkan wawancara-wawancara kami dengan warga serta penelusuran dokumen pengadilan yang kami kumpulkan, para petani itu telah menyerahkan tanah mereka tetapi harus menunggu sia-sia selama lima tahun tanpa imbalan apapun. Tapi mereka bertekad terus menyegel pintu perusahaan sampai ada titik temu. Namun mereka ditangkap. Roby dan seorang petani lain dibui selama sepuluh bulan. Orang ketiga, yang ditengarai oleh penuntut sebagai dalang protes, dipenjara selama empat tahun.
“Karena itu salah di mata hukum, jelas saya menyesal,” kata Roby kepada kami. “Namun, di satu sisi, kita melakukan aksi dikarenakan adanya kegelisahan kita dengan hak kita yang dirampas oleh orang.”
Tahun lalu, sekumpulan akademisi Indonesia dan Belanda menerbitkan sebuah kajian yang menelisik 150 konflik pertanahan antara masyarakat dan perusahaan sawit di empat provinsi Indonesia. Kajian ini menemukan bahwa keluhan seputar plasma mendasari 57 persen konflik — penyebab terbesar kedua. Penyebab pertama karena perusahaan merampas tanah masyarakat.
Ward Berenschot, peneliti senior di lembaga ilmiah milik Kerajaan Belanda KITLV yang menjadi salah satu pemimpin kajian tersebut, menyatakan bahwa timnya mengidentifikasi kasus-kasus yang melibatkan pengerahan Brimob untuk membubarkan pengunjuk rasa.
