Masyarakat Indonesia telah ditelantarkan dengan janji kosong kebun plasma selama puluhan tahun. Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh aktivis, pemerintah, dan sektor swasta untuk membantu mereka
Investigasi bersama oleh The Gecko Project, Mongabay dan BBC News menemukan banyak sekali masyarakat pedesaan di berbagai daerah di Indonesia menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dengan harapan bisa mendapatkan bagian keuntungan dari demam sawit melalui skema kebun plasma, tapi ternyata skema itu hanya janji kosong bagi banyak orang.
Sebagian masyarakat tidak mendapatkan apa-apa dan sebagian lainnya bahkan tertimbun utang menggunung, sementara perusahaan-perusahaan perkebunan terus menjalankan usaha mereka tanpa mengindahkan aturan perundang-undangan.
Guna mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah mendesak untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan yang bandel.
Saat industri sawit mulai berkembang pesat di Indonesia pada 1980-an, pemerintah mengembangkan sebuah skema untuk memastikan masyarakat bisa turut menikmati hasilnya. Demi memperoleh subsidi pembiayaan, perusahaan-perusahaan perkebunan seringkali berjanji memberikan 80 persen perkebunan kepada masyarakat—bagian yang disebut kebun “plasma”. Sejak 2007, skema tersebut dibakukan ke dalam aturan hukum, bahwa perusahaan diwajibkan menyediakan seperlima dari tiap perkebunan yang baru dibuka sebagai kebun plasma untuk diberikan kepada masyarakat.
Namun, banyak masyarakat tidak pernah menikmati keuntungan dari skema ini. Investigasi oleh The Gecko Project—bekerjasama dengan Mongabay dan BBC—menemukan banyak perusahaan gagal memenuhi kewajiban hukum membangun kebun plasma yang secara keseluruhan luasnya bisa mencapai ratusan ribu hektare. Akibatnya, dari taksiran kami, masyarakat di satu provinsi saja secara keseluruhan merugi lebih dari Rp 1 triliun dalam setahun.
Investigasi kedua kami menemukan bahwa meskipun perusahaan membangun kebun plasma untuk masyarakat, sebagian petani plasma tidak pernah menikmati keuntungan yang telah dijanjikan dan justru terjerat utang sangat besar. Satu dasawarsa atau lebih setelah melepaskan tanah mereka, masyarakat yang kami kunjungi masih harus melunasi utang yang nilainya mencapai puluhan miliar rupiah.
Investigasi kami menyoroti suatu masalah sistemis: perusahaan gagal menyediakan plasma, atau membagikan keuntungan dari plasma, kepada masyarakat pedesaan yang mencakup kemungkinan ratusan desa serta ribuan orang di berbagai daerah Indonesia. Artikel ini memaparkan serangkaian langkah yang bisa membantu mengatasi persoalan tersebut, berdasarkan analisis kami serta saran dari para aktivis, peneliti, dan warga masyarakat yang kami temui.
Kami telah berupaya mencari tahu luas areal plasma yang disediakan oleh perusahaan sawit di masing-masing perkebunan mereka. Data luasan lahan plasma ini sangat penting untuk memahami apakah perusahaan telah mematuhi aturan. Tapi upaya kami berulang kali menemui jalan buntu.
Ini terjadi karena di satu sisi pemerintah tidak menghimpun dan memeriksa data tersebut secara sistematis, namun juga karena perusahaan tidak memublikasikannya.
Beberapa perusahaan memang mengumumkan luas areal plasma yang disediakan dari keseluruhan luas perkebunan mereka, dan seringkali disertai klaim bahwa luasnya sudah mencapai 20 persen atau bahkan lebih dari total lahan perkebunan mereka. Akan tetapi, tak satupun dari laporan tahunan perusahaan yang kami periksa merinci luasan plasma untuk tiap perkebunannya, sehingga klaim tersebut sulit dibuktikan.
Kami menghubungi 18 perusahaan sawit terbesar di Indonesia untuk meminta rincian data kebun plasma di tiap perkebunan mereka, tapi hanya dua perusahaan yang mau membagi datanya. Sementara perusahaan lainnya menolak membagikan data, baik tanpa alasan atau dengan alasan bahwa informasi itu bersifat rahasia, “sensitif”, atau tidak bisa dibagikan tanpa persetujuan petani plasma.
Ada tiga hal yang dapat diperiksa untuk memastikan apakah sebuah perusahaan perkebunan mematuhi aturan perundang-undangan: tanggal perolehan izin usaha perkebunan (IUP); luas areal perkebunan yang telah ditanami perusahaan masing-masing untuk kebun inti dan kebun plasma; dan tahun ketika perusahaan menanami kebun plasma. Poin pertama menunjukkan apakah perusahaan perkebunan secara hukum berkewajiban membangun plasma sesuai aturan yang berlaku. Poin kedua menunjukkan apakah perusahaan memenuhi kewajibannya untuk membangun kebun plasma seluas seperlima dari areal perkebunannya. Poin ketiga menunjukkan apakah perusahaan telah menanami kebun plasma untuk masyarakat pada saat bersamaan perusahaan menanami kebun inti yang dikelola sendiri, sebagaimana diwajibkan oleh aturan perundang-undangan.
Apabila data tersebut tersedia, pemerintah, pembeli minyak kelapa sawit, dan masyarakat setempat pun masih perlu mencermatinya untuk memastikan apakah data itu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Yang jelas, mengumumkan data tersebut ke publik adalah langkah penting pertama untuk mewujudkan akuntabilitas.
Jika perusahaan sawit memilih untuk menutup data tersebut, ada cara untuk mendesak mereka agar membukanya. Tekanan dari para pembeli minyak kelapa sawit dan asosiasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) telah mendesak perusahaan perkebunan untuk meningkatkan transparansi di berbagai aspek lainnya dalam operasional mereka, dan pemerintah Indonesia pun bisa turut mewajibkan perusahaan untuk mengumumkan data tersebut. Memastikan perusahaan untuk membuka data terkait plasma dapat menjadi satu langkah maju yang menunjukkan apakah perusahaan mematuhi ketentuan pokok dalam aturan perundang-undangan Indonesia.
Sejak pertengahan tahun 2000-an, kebun plasma telah dijalankan melalui sebuah model “kemitraan” di mana perusahaan mengelola keseluruhan perkebunan dan menyetorkan keuntungan dari kebun plasma kepada masyarakat. Perusahaan biasanya mengklaim bahwa dari skema ini, masyarakat telah menerima keuntungan signifikan secara rutin dari kebun plasma. Namun, petani sawit yang menggarap kebun mereka secara mandiri bisa memperoleh pendapatan enam kali lipat dari pendapatan yang diterima masyarakat di sepuluh kemitraan inti-plasma yang kami kunjungi.
Meskipun perusahaan mengaku bahwa mereka sudah bertindak transparan, banyak petani plasma yang kami temui tidak memperoleh penjelasan mengapa pendapatan mereka sangat kecil. Mereka bahkan tidak memperoleh berbagai informasi mendasar terkait skema plasma, dari biaya yang dibebankan kepada petani plasma oleh perusahaan, hingga berapa jumlah utang yang mereka tanggung. Kasus seperti ini bahkan terjadi di kalangan anggota RSPO, suatu wadah multipihak yang seharusnya mewajibkan perusahaan untuk bertindak adil serta transparan terhadap petani plasma.
Beberapa pakar di bidang ‘investasi yang bertanggung jawab’ (responsible investment) mengatakan bahwa memberikan akses kepada masyarakat atas data pendapatan dan pengeluaran dalam skema kemitraan bisa mencegah perusahaan mengakali keuangan perkebunan untuk keuntungan sendiri. Berdasarkan kajian oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), masyarakat acap dirugikan karena perusahaan punya kecakapan yang lebih tinggi di bidang hukum serta pengetahuan teknis pengelolaan perkebunan yang jauh lebih baik. Menurut para pakar yang kami temui, selain membutuhkan data, masyarakat juga memerlukan pelatihan tentang bagaimana menggunakan data tersebut secara efektif.
“Salah satu ihwal penting yang ingin saya amati adalah bagaimana sebuah LSM independen memberikan pelatihan tentang pertanyaan yang tepat untuk diajukan kepada perusahaan,” ujar Peter Batt, seorang konsultan agrobisnis yang telah menelaah skema-skema serupa plasma untuk Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). “Kalau Anda tidak memberdayakan petani plasma sebagai mitra aktif dalam skema-skema semacam ini, berarti Anda memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk mengeksploitasi mereka.”
Beberapa pakar lain menyarankan untuk melibatkan pihak ke-tiga. Menurut Darryl Vhugen, seorang pengacara dan konsultan ‘investasi yang bertanggung jawab’, menyatakan bahwa mengubah kontrak kemitraan supaya mencakup peninjauan rutin atas keuangan perkebunan oleh auditor independen bisa meningkatkan transparansi tanpa mengganggu pelaksanaan usaha perkebunan.
“Kalau perusahaan mengatakan ‘Kami menerapkan ini,’ maka itu bagus,” katanya. “Mari libatkan auditor independen dan periksa pembukuan perkebunan.”
“Dan kalau mereka berkata jujur, itu luar biasa.”
Penyelidikan kami menemukan bahwa kontrak yang mengatur ketentuan dalam skema kemitraan sering tidak bisa diakses, bahkan oleh masyarakat yang telah menandatanganinya. Tak satu pun dari 18 perusahaan yang kami hubungi mau membagi contoh kontraknya, bahkan yang berbentuk perjanjian baku sekalipun. Kami hanya bisa memperoleh kontrak dari tiga skema kemitraan yang kami selidiki.
Ahmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, beranggapan bahwa kontrak kemitraan seharusnya bisa diperoleh oleh semua petani plasma, sementara peneliti Piers Gillespie mengatakan bahwa kontrak-kontrak itu “seharusnya dibuka luas sebagai dokumen publik” sehingga memungkinkan “pengawasan perkebunan yang efektif.”
Berbagai pedoman untuk praktik terbaik dalam berinvestasi, seperti Prinsip-Prinsip untuk Kontrak yang Bertanggung Jawab dari PBB, menyarankan agar ketentuan-ketentuan dalam kontrak dibuka untuk publik. Pedoman-pedoman ini biasanya menyatakan bahwa pembukaan dokumen kontrak kepada publik meningkatkan akuntabilitas sekaligus mengurangi risiko perselisihan antara masyarakat dan perusahaan.
Ketika kontrak diumumkan, masyarakat bisa memastikan apakah perusahaan memenuhi kesepakatan yang telah mereka tandatangani. Dalam satu kasus yang kami selidiki di Kalimantan Barat, lima warga desa berhasil menggugat sebuah perusahaan yang dinilai lalai memenuhi kesepakatan dalam kontrak dengan mereka.
Pada kasus-kasus lain, kontrak itu sendiri kemungkinan tidak sah secara hukum karena melanggar Undang-Undang No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang melarang perusahaan untuk “memiliki dan/atau menguasai” usaha kecil dalam hubungan kemitraan. Atas dasar ini, selama empat tahun terakhir, KPPU telah menekan perusahaan agar membenahi praktik bisnis mereka. Dengan membuka kontrak, potensi pelanggaran bisa segera diketahui dan ditanggulangi.
“Kontrak yang transparan memudahkan kerja pemerintah,” seorang ahli ‘investasi yang bertanggung jawab’ mengatakan kepada kami.” Pembuat peraturan perlu mengetahui dan memahami kontrak, lembaga perlindungan hak asasi perlu tahu kalau warga negara tengah berisiko dieksploitasi, dan lembaga pemberantasan korupsi bisa menggunakan kontrak sebagai acuan untuk mengidentifikasi potensi kecurangan.”
KPPU tengah menyelidiki masalah-masalah plasma sejak 2019, dengan menelaah kasus-kasus di mana perusahaan dituduh gagal memenuhi kewajiban membangun plasma sesuai aturan perundang-undangan atau gagal mengelola skema kemitraan. KPPU menjalankan penyelidikannya sendiri dan kemudian melayangkan peringatan tertulis kepada perusahaan agar segera berbenah.
Jika ada perusahaan yang mengabaikan peringatan tersebut dan para komisioner KPPU menyatakan bahwa perusahaan tersebut melanggar hukum, KPPU bisa mengenakan denda hingga Rp10 miliar atau merekomendasikan kepada instansi pemerintahan terkait untuk mencabut izin usahanya.
Namun, KPPU menyatakan kepada kami bahwa pihaknya kekurangan sumberdaya untuk melakukan penyelidikan atas masalah-masalah plasma secara menyeluruh. Wakil Ketua KPPU Guntur Saragih mengatakan bahwa untuk melaksanakan penyelidikan secara menyeluruh, dibutuhkan anggaran dua kali lipat dari anggaran yang ada sekarang. Investigasi kami juga menemukan bahwa masalah seputar plasma telah meluas ke mana-mana. Dengan sumberdaya lebih besar untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan seputar plasma yang terus bermunculan seantero negeri saban pekan, KPPU bisa menolong lebih banyak petani plasma.
Dalam pendekatannya untuk menyelidiki persoalan plasma, KPPU juga menawarkan sebuah model untuk para pembeli minyak kelapa sawit yang ingin menangani persoalan plasma. KPPU telah mendokumentasikan pendekatannya dalam penyelidikan kasus plasma, dan memublikasikan laporan-laporan terperinci dari hasil penyelidikannya. Para pembeli minyak kelapa sawit bisa menelaah bagaimana KPPU menghimpun dan menganalisis bukti dan juga menekan perusahaan untuk membenahi skema kemitraan yang selama ini eksploitatif, agar menjadi sesuai aturan perundang-undangan.
Pada Agustus 2021, lima warga Desa Teluk Bakung, Kalimantan Barat, memenangkan gugatan di Mahkamah Agung. Mereka berhasil mempertahankan argumen bahwa sebuah perusahaan perkebunan, PT Palmdale Agroasia Lestari Makmur, telah menyalahi kontrak kemitraan karena gagal membagikan keuntungan dari plasma setelah masyarakat menyerahkan tanah milik mereka untuk dijadikan kebun plasma. Mahkamah Agung memutuskan kontraknya batal demi hukum.
“Karena memang selama ini, pihak perusahaan ini, kalau melawan petani khususnya, selalu menang. Tapi untuk di desa kami ini, nampaknya masyarakat yang menang,” ujar Laurensius Asia, warga Teluk Bakung, yang tidak termasuk penggugat.
Potensi permasalahan plasma bisa merentang sangat luas. Kegagalan perusahaan untuk mematuhi kewajibannya secara hukum, atau untuk membagikan keuntungan dari plasma, bisa merugikan ribuan keluarga masyarakat Indonesia.
Namun, banyak orang masih sulit menjangkau ranah peradilan. Meskipun lima warga Teluk Bakung telah memenangkan gugatan atas Palmdale, Laurensius beserta lebih dari 900 orang lainnya masih terperangkap di dalam kemitraan inti-plasma dengan Palmdale. Laurensius mengungkapkan, “Orang omong undang-undang ini, kita sudah enggak paham. Modal kita enggak ada,” menyiratkan bahwa mereka tidak mampu membawa perkara ke pengadilan.
Dengan dukungan pembiayaan dan bantuan hukum, lebih banyak masyarakat yang bisa memperkarakan skema-skema plasma yang eksploitatif ke pengadilan.
Konsumen memainkan peran penting untuk mengubah cara-cara produksi minyak kelapa sawit. Hampir semua perusahaan penghasil minyak kelapa sawit berkomitmen pada kebijakan No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) (Tanpa Perusakan Hutan, Tanpa Gambut, dan Tanpa Eksploitasi), yang mungkin telah berperan dalam pengurangan besar angka perusakan hutan akibat perkebunan kelapa sawit selama beberapa tahun terakhir.
Akan tetapi, persoalan besarnya belum juga terselesaikan, di antaranya konflik sosial dan masalah plasma. Penyelidikan kami menemukan tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar pembeli minyak kelapa sawit tengah mendesak perusahaan perkebunan agar membenahi masalah sistemis yang kami temukan.
Namun, beberapa perusahaan menyatakan bahwa mereka berniat berbenah. Menanggapi temuan kami, tiga perusahaan pembeli minyak kelapa sawit yang kami sebutkan dalam laporan investigasi kami menyatakan bahwa mereka sedang menempuh serangkaian langkah untuk mengidentifikasi serta mengatasi berbagai persoalan di rantai pasok mereka.
Para pembeli minyak kelapa sawit bisa turut berperan dalam memberikan solusi seperti yang kami paparkan di atas, mulai dari menekan perusahaan perkebunan sawit agar transparan dalam penyediaan kebun plasma, hingga mendanai pelatihan tentang pengelolaan kebun bagi petani plasma.
Dengan begitu, mereka bisa membantu masyarakat di berbagai daerah Indonesia yang telah dirugikan di tengah keberlimpahan demam sawit, yakni para petani plasma yang dijanjikan keuntungan besar sebelum mereka melepaskan tanah untuk kebun plasma.