Tania Li, seorang antropolog Universitas Toronto, Kanada, menyatakan bahwa perusahaan perkebunan bisa bergerak di luar aturan hukum karena dua hal, yakni kolusi dengan negara serta lemahnya perlawanan terorganisir dari warga.
Artikel ini diproduksi oleh The Gecko Project dan diterbitkan bersama dengan Mongabay dan New Mandala.
“Tolong saya dikasih tahu bagaimana caranya bisa membuat perusahaan mematuhi peraturan,” kata seorang camat di Kalimantan.
Ia merasa jengkel terhadap perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang areal perkebunannya menyesaki seantero wilayah kecamatannya. Katanya kepada saya dan rekan penelitian saya Pujo Semedi, para manajer perusahaan-perusahaan itu menolak berbagi informasi dengannya, tidak bersedia menangani berbagai keluhan, bahkan enggan memenuhi panggilan untuk datang ke kantornya.
Keluhan camat itu bukan hal yang aneh. Saat itu, saya dan Semedi sedang meneliti kehidupan sehari-hari di wilayah yang kami sebut “kawasan perkebunan”— bagian sangat luas dari seluruh areal pedalaman Indonesia yang telah dicaplok oleh perkebunan kelapa sawit. Salah satu temuan kami, yang juga diperkuat oleh para akademisi lain serta jurnalis, bahwa perusahaan-perusahaan yang kini menduduki kawasan perkebunan kerap mengabaikan aturan hukum.
Investigasi mendalam oleh The Gecko Project, Mongabay dan BBC News baru-baru ini menemukan merebaknya pengabaian aturan tahun 2007 yang mewajibkan perusahaan perkebunan untuk membangun kebun plasma bagi masyarakat seluas seperlima dari tiap perkebunannya yang baru dibuka. Puluhan perusahaan perkebunan didapati membangun kebun plasma kurang dari luasan yang diwajibkan, membangunnya bertahun-tahun kemudian setelah beroperasi, atau bahkan tidak membangunnya sama sekali.
Ini bukan persoalan sepele. Pemerintah Indonesia telah memberikan izin usaha perkebunan yang mencakup 22 juta hektare lahan, sekitar sepertiga dari total luas lahan pertanian dan perkebunan Indonesia. Perusahaan perkebunan diharapkan bisa menyediakan lapangan pekerjaan serta mewujudkan kesejahteraan bagi warga di sekitarnya, tetapi mereka biasanya lebih memilih mempekerjakan buruh dari luar daerah ketimbang warga setempat, dengan alasan bahwa buruh dari luar daerah lebih disiplin.
Setelah melepaskan lahan pertanian maupun hutan kepada perusahaan perkebunan, warga desa mengandalkan skema kemitraan plasma sebagai sarana untuk ikut menikmati hasil dari demam sawit. Kalau kebun plasma tidak terwujud, masyarakat pedalaman bisa gigit jari karena tidak mendapatkan apa-apa. Kalau kemitraan plasma yang mereka masuki tidak begitu jelas atau tidak dikelola dengan baik, mereka bisa saja hanya terlilit utang. Pasalnya, mereka dibebani biaya pengelolaan perkebunan oleh perusahaan, sedangkan bagian keuntungan yang dibayarkan kepada mereka terbilang sangat kecil.
Situasi sulit petani plasma ini bukan hanya sifatnya sangat tidak adil, tetapi bisa dibilang ilegal - dan kondisi ini masih berlangsung hingga saat ini.
Para peneliti telah mengungkapkan bahwa banyak perusahaan perkebunan juga menyalahi berbagai aturan hukum lain yang mengatur perlindungan bagi warga desa serta buruh kebun. Pada 2017, sebuah kelompok advokasi di Indonesia Institute for EcoSoc Rights menghimpun berbagai aturan perundang-undangan dari tingkat nasional hingga kabupaten tentang beberapa ketentuan seputar perkebunan, antara lain jarak perkebunan dengan wilayah desa dan daerah aliran sungai, kewajiban perusahaan untuk membersihkan sungai yang tercemar, serta kewajiban perusahaan untuk memperlakukan buruh dengan layak. Kajian ini menemukan bahwa banyak perusahaan menyalahi berbagai ketentuan tersebut: mereka membuka perkebunan sampai tepat di samping perkampungan dan tepian sungai, tidak menangani pencemaran, serta tidak mengangkat buruh harian lepas menjadi buruh tetap setelah melalui masa kerja percobaan, serta beberapa pelanggaran lainnya.
Pemerintah Indonesia juga sudah meneken banyak pakta dan kovenan internasional terkait lingkungan dan hak asasi manusia. Namun, berdasarkan penelitian oleh beberapa organisasi non-pemerintahan, banyak tindakan perusahaan menyalahi berbagai pakta tersebut, selain juga aturan hukum.
Banyak perusahaan perkebunan bahkan tidak membayar pajak. Pada 2019, seorang pejabat senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa 40 persen perusahaan minyak kelapa sawit gagal bayar pajak. Bulan ini, pemerintah menyatakan bahwa beberapa perusahaan yang menguasai jutaan hektare perkebunan kelapa sawit kemungkinan tidak membayar pajak sepeser pun.
Terkait ketenagakerjaan, penegakan hukumnya dalam hal ini terhambat karena lokasi perkebunan umumnya sulit dijangkau serta kurangnya jumlah pegawai inspektorat terlatih. Padahal, masih ada perlakuan mengerikan terhadap buruh kebun bak perbudakan zaman modern.
Kita pun menyaksikan bagaimana kekebalan hukum (impunitas) perusahaan turut membentuk kondisi kehidupan serta mata pencaharian jutaan warga Indonesia dan juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang tak bisa dipulihkan. Tapi mengapa perusahaan sangat jarang dituntut untuk bertanggung jawab?
Dengan kekebalan hukum di dalamnya, bukan berarti kawasan perkebunan adalah wilayah hukum rimba. Penelitian kami tidak menjumpai kekosongan hukum, melainkan menemukan bahwa hukum bersanding dengan aturan main informal yang memengaruhi kapan dan bagaimana hukum dipatuhi.
Artinya, bagi warga desa di kawasan perkebunan, meskipun secara teknis punya hak-hak hukum, mereka tidak bisa menggunakannya. Dari temuan kami, tantangan utamanya yakni mereka tidak mendapatkan dukungan dari kepala desa yang mestinya menyediakan sokongan kuat ketika mereka berupaya mendekati instansi pemerintahan, pengadilan, atau perusahaan.
Namun, kepala desa pun berada di posisi sulit untuk membela warganya. Di kabupaten tempat kami melakukan penelitian, para kepala desa ditunjuk menjadi anggota “tim pembebasan lahan” serta “tim koordinasi” yang dibentuk untuk memuluskan operasi perusahaan. Perusahaan biasanya menggaji mereka bulanan, disamping memberikan bonus atau persenan atas keberhasilan tugas mereka. Para kepala desa ini tunduk kepada atasan mereka yang juga merupakan anggota tim koordinasi di tingkat kecamatan dan kabupaten. Dengan penunjukan ini, berarti mereka masuk ke dalam daftar penerima gaji perusahaan yang mestinya mereka pertanggungjawabkan sebagai perwakilan warga.
Seorang camat yang kami temui mengaku telah berupaya menggunakan sarana hukum untuk membela hak-hak warga desa. Tetapi ia masih menjumpai perusahaan-perusahaan yang mengabaikan aturan begitu saja.
Sebelum bisa mulai membuka perkebunan, perusahaan harus bernegosiasi terlebih dahulu dengan warga untuk mendapatkan tanah. Warga menandatangani “surat pelepasan tanah” dengan disaksikan camat. Mengantongi surat pelepasan tanah ini, perusahaan bisa melanjutkan proses perizinan hingga mendapatkan hak sepenuhnya atas tanah, yang kemudian bisa dijadikan jaminan untuk mengajukan pinjaman ke bank.
Camat tersebut tidak mau menandatangani sebuah dokumen yang diperlukan untuk menyelesaikan proses pelepasan tanah karena, menurutnya, perusahaan enggan memenuhi berbagai persyaratan legal. “Seharusnya ada program petani plasma, tetapi perusahaan tidak membuat komitmen apa pun kepada penduduk desa,” katanya kepada kami. “Tidak ada dokumen sama sekali, meski buldoser perusahaan sudah membongkar kebun petani.“
Dari temuan kami, perusahaan biasanya membuat komitmen kepada warga dalam bentuk lisan yang tidak begitu jelas. Warga menerima komitmen itu atas dasar kepercayaan, karena mereka tidak memiliki posisi tawar untuk memastikan agar pemenuhan janji perusahaan dapat ditegakkan sesuai aturan hukum. Para pejabat di tingkat kecamatan yang mengawasi proses itu tidak—atau tidak bisa—bertindak tegas. Kalau bertindak tegas, seperti camat yang kami temui, ia berisiko bermusuhan dengan rekan-rekan serta atasannya.
Beberapa camat lain memberi penjelasan senada: ketika mereka berupaya ambil sikap dan bertindak berdasarkan aturan hukum atau mendukung tuntutan masyarakat agar perusahaan mematuhi hukum, mereka berisiko dipindah-tugaskan dengan peran baru yang lebih lemah. Mereka pun bakal dipandang sebagai orang yang susah diatur, yang gagal memahami ‘sistem’ yang berlaku.
Bagaimana kita bisa memahami suatu rezim yang tidak menjalankan aturan hukum serta tidak menindak para pelanggar hukum?
Sulit untuk memusatkan penjelasan atas situasi ini sebagai tindakan korupsi, karena impunitas di sini bersifat sistemis; ini bukanlah perkara perorangan dengan kelakuan buruk mereka masing-masing. Dalam perkara ini, kerap tidak ada pergerakan uang, karena memang tidak didapati adanya transaksi apa pun. Masalahnya lebih pada kegagalan bertindak. Lebih tepatnya, kegagalan untuk memastikan sesuatu yang seharusnya terjadi benar-benar terjadi.
Kondisi ini lebih dekat dengan kolusi, meskipun tidak melulu dalam bentuk kesepakatan gelap. Satu temuan mencengangkan dari penelitian kami yakni kolusi antara pemerintah dan perusahaan juga berlangsung melalui jalur-jalur formal kelembagaan.
Dalam penelitian, kami menemukan perusahaan secara rutin membayar sepeser uang kepada wartawan, kelompok aktivis, warga desa atau pejabat pemerintah yang mendatangi kantor perkebunan, tentu saja agar mereka tidak bikin ulah. Kadang perusahaan juga membayar dalam jumlah besar secara terang-terangan.
Selain membayar gaji rutin kepada anggota “tim koordinasi”, perusahaan juga menyalurkan “sumbangan” kepada para pegawai instansi pemerintah daerah, termasuk dinas pertanahan, dinas ketenagakerjaan, dan dinas lingkungan hidup—instansi yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan. Bahkan mereka juga membayar polisi dan tentara: aparat keamanan yang selalu hadir ketika masyarakat melancarkan protes untuk memperjuangkan hak-hak mereka, kadang dengan melakukan tindak kekerasan yang berakibat fatal.
Sumbangan seperti itu biasanya tidak terselubung: kepala dinas menyurati perusahaan perkebunan dengan surat berkop resmi menjelang hari raya keagamaan, yang memerinci daftar nama pegawai yang disarankan sebagai penerima sumbangan dengan jumlah tertentu berdasarkan pangkatnya.
Transaksi semacam ini menciptakan hubungan timbal balik yang membuat pejabat pemerintahan segan untuk meminta perusahaan agar mematuhi aturan, apalagi untuk melayangkan tuntutan. Pejabat tersebut biasanya sekadar memberi nasihat atau mengingatkan, tanpa terlalu mengharapkan tanggapan.
Kebanyakan warga desa dan buruh kebun yang terdampak buruk oleh perusahaan tidak memiliki kepercayaan terhadap hukum sebagai jalur yang bisa ditempuh untuk memperbaiki keadaan. Mereka telah lama dididik dalam prinsip-prinsip yang disebut oleh ilmuan politik David Bourchier sebagai “negara kekeluargaan”. Dalam kasus ini, pemerintah adalah kepala keluarga, sedangkan warga negara adalah pihak yang dibebani kewajiban—terutama untuk patuh—tanpa kepastian akan pemenuhan hak-haknya.
Di negara kekeluargaan, memperjuangkan hak-hak yang telah ditetapkan dalam hukum menandakan ketidakpatuhan, karena dianggap mempertanyakan kebijaksanaan, kewenangan, serta kebajikan dari pihak yang bertanggung jawab. Sebaliknya, warga desa justru mencari perlindungan dari birokrat dan politisi serta berupaya melibatkan mereka sebagai pihak penengah.
Kami menelusuri beberapa konflik yang hendak diselesaikan oleh warga melalui mediasi. Tak satu pun yang berhasil. Sebuah kajian terkini oleh beberapa akademisi Indonesia dan Belanda menemukan pola serupa: dari 150 konflik perkebunan di empat provinsi, 73 persennya diselesaikan melalui mediasi berdasarkan mekanisme musyawarah (ad hoc), nyaris tanpa mengacu pada aturan hukum apa pun.
Kajian itu juga menemukan bahwa penyelesaian yang disepakati jarang terlaksana. Selagi persoalan mendasarnya tidak diatasi, warga desa terus menuntut hak, sedangkan perusahaan tetap menolak melaksanakan langkah-langkah penyelesaian yang tidak menguntungkan mereka.
Seperti diungkapkan oleh ahli kajian pembangunan Christian Lund, hukum bukannya tidak relevan dengan sengketa-sengketa perkebunan. Hukum penting terutama bagi warga desa yang bersemangat melancarkan aksi karena merasa yakin bahwa hukum berpihak pada mereka. Beberapa warga desa di tempat penelitian kami mempelajari berbagai aturan perundang-undangan secara saksama, untuk menemukan pasal-pasal yang memberikan perlindungan buat mereka. Tetapi mereka tidak berdaya untuk mendesak agar undang-undang tersebut benar-benar dilaksanakan, sehingga mereka hanya sebatas menerima apapun yang bisa didapat, sebagai solusi sementara.
Di kawasan perkebunan, ketidakberdayaan warga untuk mendesak penerapan aturan hukum yang melindungi mereka sebagiannya berakar pada ketiadaan tradisi perlawanan yang terorganisir, buntut panjang dari kekerasan dahsyat pada 1965–1966 yang menimpa anggota Barisan Tani Indonesia (BTI)—yang dikaitkan dengan komunis—serta Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri).
Selama 1950-an, BTI dan Sarbupri menjadi dua kekuatan besar yang berhasil mendorong perbaikan kondisi kaum buruh serta mendukung pendudukan lahan perkebunan yang ditelantarkan, baik untuk permukiman maupun pertanian. Keberhasilan mereka begitu substansial hingga menyebabkan turunnya keuntungan dari hasil bekas perkebunan-perkebunan kolonial yang sudah dinasionalisasi dan dikuasai oleh tentara.
Kerugian itu membuat berang tentara beserta kroni mereka. Para anggota serikat tani dan buruh kebun lantas dijadikan sasaran pembantaian yang digerakkan oleh tentara—proyek kekerasan yang mengantarkan naiknya kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah Soeharto. Selama beberapa dasawarsa kemudian, setiap gerakan perlawanan terhadap rezim dianggap mengancam dan berbahaya, dan hingga kini pun, kekuatan tandingan belum sepenuhnya pulih.
Banyak organisasi nirlaba Indonesia maupun internasional memberikan bantuan hukum, advokasi, serta mediasi kepada warga desa dan kaum buruh. Namun, mengingat luasnya kawasan perkebunan serta kekerapan dan keparahan persoalan yang ada, kapasitas mereka jauh dari cukup. Tidak ada satu pun organisasi yang jangkauannya seluas BTI yang melaporkan keanggotaannya mencapai 8,5 juta orang sebelum akhirnya dihancurkan pada 1965.
Salah satu aksi BTI yang terpenting adalah pengerahan kaum tani untuk menduduki lahan yang seharusnya diberikan kepada mereka sesuai amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 untuk reforma agraria. Singkat kata, BTI mendesak agar UUPA benar-benar dilaksanakan, desakan yang menyebabkan para anggotanya membayar dengan nyawa.
Kebanyakan perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang ini tidak punya serikat buruh independen, selain serikat bentukan perusahaan sendiri, sementara warga desa sekitar perkebunan umumnya tidak punya organisasi di tingkat desa atau partai politik yang bisa diandalkan untuk menyokong mereka guna mendesak perusahaan agar mematuhi hukum. Perusahaan biasa menggunakan berbagai siasat untuk memecah-belah warga, utamanya dengan membuat janji-janji kosong, mendekati para tokoh masyarakat serta menggaji mereka sebagai “orang perusahaan”, atau mengusik serta mengkriminalisasi warga sampai mereka menyerah melakukan perlawanan.
Protes-protes yang dilancarkan buruh dan warga bersifat sementara dan sulit bernapas panjang karena tidak ditopang sumberdaya keorganisasian. Protes-protes itu biasanya mereda setelah perusahaan membujuk para pemimpin protes dengan konsesi atau uang yang tidak seberapa. Orang-orang perusahaan menyebut praktik semacam ini sebagai ‘dipanadol,’ menggunakan analogi dengan merk dagang Panadol, yaitu obat dengan kandungan parasetamol untuk menurunkan suhu serta meredakan sakit kepala tanpa benar-benar mengatasi sumber penyakitnya.
Sebagaimana banyak dilaporkan, dan dikaji dengan cukup mendalampraktik-praktik di luar hukum oleh aparatur negara Indonesia merupakan hal yang biasa dilakukan. Namun, menurut dua ilmuwan Sarah Milne dan Jacqui Baker seperti halnya negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia bukanlah “negara gagal”. Justru Indonesia merupakan negara yang dijalankan dengan cukup efektif, namun dengan cara-cara yang bertentangan dengan cita-cita liberal atas penegakan hukum, transparansi, dan akuntabilitas.
Pengamatan ini bukan berarti membenarkan bahwa sistem semacam itu dapat diterima, bahkan di mata warga negaranya sendiri. Kekebalan hukum perusahaan telah menyebabkan dampak sangat merusak terhadap warga desa serta buruh di kawasan perkebunan. Dampak buruk itu makin parah dengan berbagai perusahaan perkebunan yang secara spasial telah menyelimuti seantero wilayah kabupaten, serta dengan derasnya aliran uang yang dihasilkan.
Seperti ditunjukkan investigasi lainnya oleh The Gecko Project dan Mongabay, beberapa perusahaan besar telah mendukung kampanye kandidat pilkada demi mendapatkan izin usaha. Praktik semacam ini telah menghasilkan hubungan saling menguntungkan yang sulit diputus.
Kongkalikong antara negara dan perusahaan, yang kerap melibatkan tentara, terjalin di berbagai tingkatan, hingga ke kampung terkecil sekalipun. Sebuah negara yang berpihak pada perusahaan tidak mungkin bisa menegakkan hukum. Hasilnya adalah suatu tatanan yang kami sebut sebagai “pendudukan oleh perusahaan”.
Para pejabat pemerintah menjadi sekutu bala pendudukan tersebut. Warga desa dan buruh harus bisa hidup berdampingan dengan bala pendudukan yang tidak bisa mereka enyahkan—hidup bersama raksasa—namun hasil yang didapatkan dirasa tidak adil. Teman-teman bicara kami di desa bilang kepada kami bahwa mereka telah dikhianati oleh pemerintah dan perusahaan yang menjanjikan keuntungan melimpah, tapi kenyataannya justru membawa kehancuran. Masalahnya, mereka tidak punya tempat mengadu: perusahaan menyebabkan kerusakan tanpa tersentuh hukum, sedangkan warga dan buruh tidak punya daya dan sarana untuk memperbaikinya.
Tania Li adalah Profesor Antropologi di Universitas Toronto, Kanada dan peneliti di Pusat Kajian Asia Tenggara, Universitas Kyoto, Jepang.
Bukunya yang ditulis bersama Pujo Semedi (Profesor Antropologi Universitas Gadjah Mada) berjudul Plantation Life telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Hidup Bersama Raksasa.
Caption: Sebuah desa dikepung perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan. Foto oleh Nopri Ismi.