Peran KPK sebagai pengawas mungkin akan memberikan efek menakutkan bagi perusahaan-perusahaan untuk beroperasi bebas dari jerat hukum di hutan yang belum tereksploitasi.
Pada 2005, Mulyana W. Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengunjungi sebuah kamar hotel di Jakarta. Dia hendak menyerahkan Rp150 juta kepada seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) guna memuluskan perbedaan temuan dalam proses tender pengadaan kotak suara pemilu.
Baca juga Tangan-tangan Setan Bekerja: Kesepakatan Lahan di Balik Jatuhnya Akil Mochtar
Peristiwa ini pun tak dapat disangkal lagi karena auditor itu mengenakan alat perekam kejadian, sementara tim investigasi KPK menunggu saat tepat untuk menyergap dan lakukan tangkap tangan.
Setelah menangkap Mulyana, tim KPK lalu menyapu bersih Kantor KPU dan menemukan harta karun berupa dokumen dan file komputer yang memberikan celah bagi mereka untuk mengumpulkan pundi-pundi hingga miliaran rupiah.
Temuan barang bukti itu memberikan alasan kuat terhadap terjadinya kasus suap dan korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat penting.
Kasus ini jadi perhatian publik. KPK yang baru berusia dua tahun ternyata mampu menunjukkan diri sebagai harapan baru bagi negara yang lekat dengan praktik korupsi ini.
“Hampir setiap hari, koran dan televisi menulis tentang KPK,” kata Ary Nugroho, beberapa tahun kemudian. Dia adalah penasihat KPK. “Harapan masyarakat jadi makin besar setelah kasus itu.”
KPK lahir pada 2003, separuh dekade setelah kejatuhan Soeharto. Para pemimpin pertama KPK membangun lembaga negara independen ini dari nol.
Gabriel Kuris, Wakil Direktur Center for the Advancement of Public Integrity di Columbia Law School di New York, menulis, mereka telah membangun salah satu lembaga anti-korupsi paling efektif di dunia.
Sejak itu, serangkaian kasus diungkap KPK, kian bertambah. Puluhan politisi, birokrat, dan pengusaha dipenjara karena kasus korupsi setiap tahun.
Pada waktu bersamaan, KPK baru bisa mengadili beberapa kasus di sektor perkebunan. Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar dunia. Kebun-kebun sawit raksasa, bahkan mencapai luas setara kota-kota kecil, tersebar di hampir seluruh Indonesia. Ada pula perkebunan tanaman industri lain, seperti komoditi pohon kayu maupun tebu. Perkebunan-perkebunan itu umumnya dijalankan para konglomerat kakap yang mengantongi izin-izin dari politisi lokal.
Sektor perkebunan pun disadari penuh praktik korupsi dan makin marak ketika Indonesia berhadapan dengan proses transisi yang amat rapuh menuju demokrasi. Bagi KPK, sejumlah kemenangan besar terhadap kasus perusahaan perkebunan pada pertengahan 2000-an, memberi jalan melihat serangkaian kasus lain dalam beberapa tahun terakhir.
Ada pemahaman berkembang kemudian bahwa alokasi lahan korup untuk perusahaan perkebunan, merupakan penyebab utama deforestasi dan akar krisis hak atas tanah di Indonesia.
Berbagai kesepakatan atau penawaran di bawah tangan oleh para politisi pun memungkinkan berbagai perusahaan membabat habis hutan hujan dan rawa gambut yang seharusnya dilindungi.
Mereka juga merampas tanah-tanah masyarakat adat dan masyarakat desa di sekitar hutan. Uang-uang kotor yang masuk ke kantong-kantong politisi itu beredar pada transaksi-transaksi pemilu. Dengan taruhan sangat tinggi itu, mengapa KPK hanya menindak sedikit kasus-kasus di sektor perkebunan?
Keterlibatan pertama KPK pada sektor perkebunan terjadi tahun 2007. Saat itu, KPK mengungkap skema yang didalangi Martias Fangiono, pemilik perusahaan kayu multinasional bernama Surya Dumai, dan Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim).
Pada mulanya, perusahaan Martias kehabisan bahan baku untuk pabriknya ketika muncul aksi dan tindakan keras secara nasional terhadap pembalakan liar. Dia mengklaim, hendak membuka perkebunan sawit, lalu perusahaan memperoleh izin dari Suwarna untuk membabat area hutan luas di Kalimantan. Gubernur juga membuat perusahaan Martias dapat menghindari pemberian jaminan bank untuk menutupi pajak yang diharapkan dari pendapatan kayu.
Perusahaan Martias menebang hampir 700.000 meter kubik kayu tetapi hutan yang ditebang itu tak pernah ditanami sawit. Martias dan Suwarna, akhirnya divonis bersalah dan masuk penjara. Martias wajib membayar uang pengganti Rp346 miliar.
Tidak lama berselang, KPK kembali menyibak serangkaian kasus di Riau, yang menyeret gubernur dan beberapa bupati. Hal itu dimulai dengan tuduhan terhadap Azmun Jafar, Bupati Pelalawan, terkait kasus penyalahgunaan wewenang alih fungsi hutan dengan pengeluaran izin perkebunan kayu kepada tujuh perusahaan cangkang (shell company) yang didirikan kroni-kroni dan anggota keluarganya sendiri.
Baca juga Pesta Demokrasi yang Korup Picu Gadaikan Sumber Daya Alam
Perusahaan cangkang adalah sebutan bagi perusahaan aktif, tetapi terlihat tak memiliki operasi bisnis maupun aset signifikan dan dicurigai sebagai tempat persembunyian usaha lain. Setelah menggenggam izin, mereka dengan cepat membalikkan ke konglomerat-konglomerat besar, termasuk ke tangan Grup APRIL, salah satu produsen kertas terbesar di Asia. Konglomerat-konglomerat di ujung lain dari skema itu pun lantas menebangi hutan di area konsesi mereka untuk mengeruk keuntungan besar dan berlipat ganda. Pengadilan memutuskan, negara telah dirugikan Rp1,2 triliun dari pendapatan kayu dan pajak.
Setelah kemenangan besar di Kaltim dan Riau, perhatian KPK kepada sektor perkebunan menurun drastis. Kami hanya mengidentifikasi setidaknya dua kasus pada 2014 dan 2015, di mana politisi dihukum sehubungan dengan proyek-proyek sawit. Kasus-kasus ini melibatkan pengusaha yang menyuap gubernur dan bupati untuk memuluskan proses perizinan perkebunan. Meski penindakan kecil, bisnis perkebunan terlanjur menjamur dan masuk ke dalam yurisdiksi yang dijalankan para politisi korup. Perusakan hutan dan dugaan perampasan tanah pun terjadi.
Kalau dicermati lagi, KPK tak akan menolak menempatkan sumber daya untuk penyelidikan perusahaan perkebunan. Meskipun begitu, patut diakui lembaga itu memiliki segudang pekerjaan karena korupsi mengakar hampir di berbagai tingkat pemerintahan maupun sektor ekonomi di Indonesia.
Sejak 2005, KPK menerima rata-rata lebih dari 7.000 laporan korupsi per tahun. Setengah dari keluhan ini disertai bukti terpercaya, hingga dapat ditindaklanjuti. Sementara itu, jumlah kasus yang dituntut pun terus meningkat signifikan, dari 45 pada 2011 jadi 110 pada 2016. Itu hanya mewakili sebagian kecil dari laporan kredibel yang diterimanya.
“Penyidik di KPK sangat sedikit,” kata Tama Langkun, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), sebuah organisasi non-pemerintah berbasis di Jakarta, dalam satu wawancara.
Dia mengatakan, KPK menangani kasus yang paling memungkinkan ditangani. “Mereka tidak mau tantangan yang kita berikan di kasus-kasus ini (makin bertambah) karena akan membutuhkan tenaga dan waktu.”
KPK juga kurang berminat menangani dan menghadapi kasus-kasus sulit.
Lembaga ini memiliki catatan nyaris sempurna dalam memenangkan kasus-kasus yang mereka tuntut termasuk kala upaya banding jika gagal upaya pertama. KPK terus mengejar kasus-kasus dengan bukti yang tak lagi bisa terbantahkan, misal, ketika tersangka tertangkap tangan saat sedang penyuapan.
Penting pula disadari, KPK harus menghadapi berbagai serangan politik dari lembaga-lembaga pesaingnya, terutama kepolisian. Hal ini kian menguras energi dan sumber daya KPK yang terdesak pada kebutuhan untuk memenangkan kasus. Kalau tidak, akan memberikan peluang bagi pengkritik untuk mengerdilkan ruang gerak KPK.
Tantangan lain, adalah pada aspek hukum itu sendiri. Undang-undang №30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetapkan, jika seorang tersangka belum tertangkap mengirimkan atau menerima suap, KPK harus menunjukkan bahwa tindakan diduga korup itu bisa mengakibatkan “kerugian negara.”
Kriteria itu paling mudah dipenuhi ketika pejabat mencuri dari anggaran negara atau terlibat dalam penipuan pengadaan barang. Dengan kata lain, kasus-kasus yang menimbulkan kerugian fiskal nyata.
Dari 110 kasus tuntutan KPK tahun 2016, sekitar seperempatnya melibatkan politisi yang merampok uang dari anggaran negara. Kebanyakan kasus yang mengambil alokasi sektor pendidikan dan kesehatan, merupakan prioritas. Kedua sektor itu mewakili masing-masing 20% dan 5% dari anggaran negara. Jumlah tidak main-main, tentu saja, memiliki konsekuensi mengerikan ketika jadi target korupsi.
Analisis kami terhadap laporan tahunan KPK menunjukkan, kasus-kasus sektor pendidikan dan kesehatan bersamaan penyuapan hakim dan pejabat pengadilan, merupakan mayoritas penuntutan KPK.
Sebaliknya, korupsi pada sektor perkebunan seringkali melibatkan skema jauh lebih rumit dan tak selalu dapat ditaksir berapa angka “kerugian negara” yang timbul. Model yang kami selidiki selama 18 bulan terakhir ini, memperlihatkan ada penggunaan perusahaan cangkang dan pemilik proksi sebagai alat untuk menjual izin-izin perkebunan ke perusahaan-perusahaan besar.
Seorang politisi, Darwan Ali, yang kala itu menjabat sebagai Bupati Seruyan di Kalimantan Tengah (Kalteng), mengeluarkan izin kepada 18 perusahaan yang didirikan kerabat dan kroni-kroninya yang kemudian cepat dialihkan ke konglomerat-konglomerat besar.
Politisi lain, Hambit Bintih, Bupati Gunung Mas di provinsi sama, juga memberikan izin-izin kepada lima perusahaan bentukan juru kampanyenya ketika sedang mempersiapkan kampanye mahal untuk pemenangan pilkada selanjutnya.
Pada kasus yang sukses menghantam Azmun Jafar, Bupati Pelalawan, yang memimpin skema serupa, KPK pakai citra satelit dan pesawat untuk melihat cakupan hutan rusak.
Lais Abid, peneliti ICW, mengatakan, cara itu membantu KPK memunculkan angka yang dapat diandalkan dalam memprediksi berapa kerugian negara. Namun, katanya, metode itu melampaui sumber daya atau kemampuan KPK.
Dalam kasus Seruyan, Kalteng, misal, seorang aktivis lokal melaporkan Darwan Ali ke KPK dengan anggapan bahwa nilai kayu tebangan-sebagai akibat dari izin-izin keluar- seharusnya bisa dihitung dan dianggap kerugian negara.
KPK pun menindaklanjuti laporan itu dengan melakukan beberapa kunjungan ke Seruyan. Sayangnya, kasus tak pernah lanjut dengan tuntutan kepada Darwan. Aktivis setempat mengatakan, mereka mendengar dari KPK bahwa prediksi terhadap “kerugian negara” itulah yang menghambat.
“Masalahnya adalah ketika itu terkait sumber daya alam, sangat sulit membuktikan atau memprediksi berapa kerugian negara,” kata Lais. “Jauh lebih mudah jika mereka merampok kas negara langsung.”
Inovasi hukum terbaru yang sedang berjalan mungkin memiliki implikasi bagi kemampuan KPK dalam mengambil maupun memenangkan kasus-kasus pada sektor perkebunan. Dalam kasus yang ditangani tahun ini melawan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam, yang diduga mengeluarkan izin pertambangan nikel, KPK memperdebatkan, kerugian yang ditanggung negara bukan hanya kerugian fiskal, juga kerugian ekologis.
Sebagaimana dikutip ICW,“Apa yang dilakukan Nur Alam, tidak hanya merugikan keuangan negara, juga berdampak pada kerusakan lingkungan jangka panjang selama beberapa generasi ke depan.”
Jaksa KPK berpendapat, kerugian yang ditanggung negara dampak operasi penambangan mencapai Rp4,3 triliun. Lebih dari separuh nilai itu, dapat dikaitkan dengan kerusakan lingkungan.
Meski Gubernur Sultra, akhirnya berhasil dijebloskan ke penjara, para hakim menolak argumen tentang kerusakan lingkungan, hingga mengabaikan itu dari keputusan mereka terhadap hukuman Nur Alam. KPK mengajukan banding atas putusan hukum Nur Alam.
Setelah itu, Nur Alam justru mengajukan gugatan terhadap Basuki Wasis, akademisi yang jadi saksi ahli KPK atas tindakan Gubernur Sultra yang berdampak pada kerusakan lingkungan itu.
Keputusan akhir dari kasus ini akan memiliki dampak sangat signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi sektor sumber daya alam.
Banyak pengamat berpendapat, definisi “kerugian negara” sepatutnya diperluas hingga cakupan yang dapat membahayakan masyarakat. Masifnya agribisnis di Indonesia selama ini terbukti menyebabkan beragam persoalan, termasuk ribuan kasus sengketa lahan antara perusahaan dan masyarakat. Juga penghilangan sumber penghidupan dan kebudayaan masyarakat yang menggantungkan hidup dari pemanfaatan lingkungan atau hutan lestari.
Studi terbaru Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), misal, terhadap sejumlah komunitas yang hutan dicaplok perusahaan-perusahaan perkebunan, menunjukkan, situasi itu telah memutus akses masyarakat ke pasokan air bersih dan makanan. Riset ini menemukan fakta penduduk setempat terpaksa harus membayar biaya bulanan tambahan Rp3,48 juta per rumah tangga untuk membeli apa yang sebelumnya bisa mereka dapatkan gratis.
KPK melakukan penelitian tentang apa yang disebut “biaya sosial korupsi.” “Mudah-mudahan, itu bisa meningkatkan denda dan hukuman,” kata Sulistyanto, Deputi Bidang Pencegahan KPK.
“Itu masih sebuah studi, tetapi kami berharap ‘biaya sosial korupsi’ dapat dibangun secara hukum.”
KPK memang mencurahkan energi jauh lebih besar untuk pencegahan korupsi sektor perkebunan daripada mengejar penindakan. Sebagai contoh, KPK mendorong pemerintah daerah mengonsolidasikan peta konsesi perkebunan dan menyerahkan kepada pihak berwenang di Jakarta. KPK juga bekerja dengan Kementerian Pertanian membuat databaseperusahaan perkebunan sekaligus mendokumentasikan kepemilikan mereka.
Hal itu sejalan dengan peraturan baru yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo, pada Maret lalu, yaitu Perpres №13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, yang memandatkan setiap perusahaan di Indonesia untuk mengungkap identitas dari pemilik manfaat (beneficial ownership) dari sebuah perusahaan kepada pemerintah dalam waktu satu tahun.
“Jika kita hanya fokus pada penegakan hukum, akan ada begitu banyak penangkapan, tetapi peluang korupsi akan terus ada,” kata Sulistyanto.
“Sistem dan peraturan harus diperbaiki.”
Dalam upaya peningkatan tata kelola perizinan, KPK melakukan peninjauan besar-besaran konsesi perusahaan perkebunan di seluruh Indonesia. Program serupa pada sektor pertambangan, berujung pada pencabutan ratusan izin.
Lantas, apakah hal sama pada sektor perkebunan juga akan berdampak pada pencabutan izin-izin perkebunan? Itu masih jadi pertanyaan.
Bagaimanapun, pekerjaan KPK sebagai pengawas memiliki dampak sangat signifikan. Saat ini, total konsesi perusahaan perkebunan mencapai kisaran sekitar 6 juta hektar yang mencakup kawasan hutan yang belum dikembangkan dan lahan gambut kaya karbon. Apakah kekayaan alam itu akan dilestarikan atau dihilangkan? Kita masih bertanya-tanya tentang itu.
Investigasi kami menemukan fakta, korupsi tak hanya memainkan peran dalam penerbitan izin-izin, tetapi peran lain terkait hal-hal yang bisa dilakukan setelah perusahaan mengantongi hak atas tanah. Penegakan hukum terhadap peraturan dan perundangan lingkungan masih sangat lemah.
Kondisi ini membuat perusahaan-perusahaan makin agresif mengusir masyarakat, termasuk masyarakat adat, agar keluar dari tanah dan wilayah mereka. Hanya tersisa jalan sangat sempit bagi masyarakat menolak untuk pasrah dan melawan.
Kemampuan perusahaan untuk terus bergerak–dengan memanfaatkan kekosongan regulasi maupun penegakan hukum –disebabkan pengaruh yang semestinya tak mereka lakukan kepada para politisi.
Peran KPK sebagai pengawas terutama dengan dukungan investigasi media dan organisasi non-pemerintah atau organisasi masyarakat sipil, mungkin akan memberikan efek menakutkan bagi perusahaan-perusahaan untuk beroperasi bebas dari jerat hukum di hutan yang belum tereksploitasi.
Artikel ini adalah tulisan kedua dari tiga analisis yang diterbitkan oleh The Gecko Project dan Mongabay, dalam meninjau situasi korupsi di Indonesia dengan menyertakan tanggapan tentang hal itu dari pihak pemerintah dan masyarakat sipil.
Artikel pertama kami mengulas hubungan antara praktik perizinan korup dan pilkada. Artikel terakhir akan mengeksplorasi intervensi masyarakat sipil untuk memerangi praktik serupa di negara lain, termasuk India, Chili, dan Amerika Serikat. Artikel-artikel ini merupakan bagian dari seri Indonesia Dijual.