- Marius Betera diduga dianiaya polisi pada Mei 2020. Dia tewas dua jam setelah kejadian. Pihak berwenang cepat-cepat menghubungkan kematian itu dengan serangan jantung.
- The Gecko Project dan Mongabay menemukan, dugaan serangan ini tertangkap kamera CCTV. Meski begitu, rekaman video belum dirilis ke publik.
- Berdasarkan visum, kepolisian dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengklaim kematian tak terkait penyerangan. Padahal, para ahli justru menunjukkan ada kemungkinan dari keterkaitan antara penyerangan dan kematian Marius Betera.
Dugaan penyerangan terhadap seorang lelaki di Boven Digoel, Papua oleh polisi sekitar dua jam sebelum dia meninggal, terekam kamera CCTV. The Gecko Project dan Mongabay mengetahui soal itu.
Marius Betera, orang asli Papua berusia 40 tahun itu tewas di klinik kesehatan di Boven Digoel pada Mei 2020. Sebelumnya, Marius dilaporkan dipukuli seorang polisi.
Kejadian ini terjadi di luar kantor Korindo Group, sebuah perusahaan kayu dan perkebunan sawit. Awalnya, Marius datang ke sana untuk mengeluhkan tanamanmya tergusur perusahaan karena dinilai masuk konsesi perusahaan.
Kepolisian mengatakan, mereka telah menangkap polisi yang diduga menyerang Marius saat itu, yaitu, Melkianus Yowei. Kini, Melkianus sedang proses penyelidikan.
Mengacu hasil investigasi terpisah Komnas HAM, menyimpulkan, Melkianus terbukti melakukan “kekerasan yang… dapat dikategorikan sebagai tindakan yang berlebihan, sewenang-wenang, dan tidak profesional.”
Kini, terungkap bukti kalau pertengkaran itu tertangkap kamera pengawas milik Korindo Group. Rekaman video itu telah disita kepolisian sebagai bukti untuk proses penyelidikan.
Para pegiat HAM sudah menyerukan agar rekaman ini rilis untuk memastikan penyelidikan oleh kepolisian tak memihak. Mengingat dugaan serangan oleh seorang polisi di kawasan yang kerap banyak berbagai kasus pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) di tangan aparat keamanan.
“Dilihat dari historinya, ya, entar berujung ke impunitas. Kalau ngga, ya, tidak ada tekanan publik,” kata Veronica Koman, pengacara HAM yang mengadvokasi hak-hak orang asli Papua. “Nanti proses peradilan, hasilnya tidak memberikan rasa keadilan bagi orang Papua. ‘Kan kayak begitu permasalahannya di Papua selama ini. Nah, jadi memang lebih bagus itu dibuka ke publik.”
Kekhawatiran terhadap integritas dari penyelidikan kian meningkat setelah kepolisian dengan cepat malah menyangkal kemungkinan ada hubungan antara dugaan penyerangan dan kematian Marius.
Mengutip hasil visum di sebuah klinik yang dioperasikan Korindo Group, kepolisian berulang kali menyatakan penyebab kematian adalah serangan jantung. Berdasarkan laporan dokter yang sama, Komnas HAM pun menyimpulkan bahwa, “tidak ditemukan bukti yang menunjukkan atau menguatkan, bahwa kematian Marius Betera disebabkan karena kekerasan yang dialaminya” yakni, pemukulan oleh Melkianus.
Seharusnya, hasil identifikasi pada tubuh korban setelah meninggal, tidak sepatutnya ditarik kesimpulan demikian. Mengacu pada penafsiran tak resmi berbahasa Inggris terhadap visum itu — yang dicek The Gecko Project dan Mongabay — mengatakan, kalau penyebab kematian “tidak dapat dipastikan” karena pemeriksaan internal tidak dilakukan.
Dr. Stuart Hamilton, ahli patologi forensik di Inggris yang meninjau laporan dokter dan rincian lain atas permintaan kami, mengutarakan, hasil post-mortem itu “tidaklah memadai di setiap level” dan tidak membenarkan kesimpulan kalau serangan itu tidak berkontribusi pada kematian.
“Dalam kasus yang melibatkan serangan yang berpotensi mematikan, maka itu adalah hal yang mengkhawatirkan,” katanya. “Secara singkat, laporan medis mengatakan ‘kami hampir tidak melakukan apa pun untuk bisa memastikan bagaimana dia tewas dan kami tidak mempunyai jawaban atas hal itu.’”
‘Tidak ada bukti yang menunjukkan atau menguatkan’
Dugaan penyerangan itu terjadi pada 16 Mei lalu setelah Marius mengunjungi ladang pisang miliknya di sepanjang tepian jalan di dalam konsesi perkebunan sawit Korindo Group. Marius menemukan tanaman-tanaman pisang telah dicabut oleh perusahaan agar mereka dapat memanen sawit.
Akhirnya, Marius mendatangi kantor perusahaan yang dikenal dengan sebutan Camp 19 untuk protes kejadian itu. Dia pergi bersama istrinya sekitar pukul 11.00 pagi. Yang jadi persoalan ketika Marius hendak meninggalkan kantor. Saat itu, Melkianus berusaha menyita alat-alat berburu yang dibawa Marius, yaitu busur dan parang.
Korindo Group mengutarakan, kalau kedua lelaki itu terlibat dalam pertengkaran. Seorang saksi mata mengungkapkan Marius yang berulang kali dipukul di bagian wajah dan ditendang di bagian perut. Ada darah keluar dari telinga Marius.
Sekitar dua jam kemudian, Marius dilarikan ke klinik terdekat milik perusahaan. Menurut laporan medis, dia dalam keadaan tertekan, dada berdebar kencang, dan berjuang untuk bisa bernapas. Marius menolak penanganan medis berupa pemasangan oksigen. Dalam waktu setengah jam, dia dinyatakan meninggal.
Dalam waktu dua hari, Polres Boven Digoel kemudian memanfaatkan akun resmi Facebookmereka untuk membantah tuduhan dan mengatakan unggahan pada media sosial lain tentang kronologis dan pernyataan bahwa Marius diduga dibunuh oleh seorang polisi itu, sebagai berita bohong atau hoax.
“Hasil pemeriksaan luar tidak ditemukan adanya lebam maupun luka lecet pada korban dan diperkirakan korban meninggal AKIBAT SERANGAN JANTUNG,” tulis kepolisian.
Dua hari setelah itu, juru bicara Polda Papua dilaporkan mengatakan bahwa Marius meninggal karena serangan jantung.
Okto Betera, adik laki-laki Marius, menolak kesimpulan polisi dengan mengatakan itu sebagai tipuan. Dia bersikeras menyatakan kepada media massa bahwa saudaranya telah dibunuh.
Komnas HAM melakukan penyelidikan selama lima hari pada akhir Juni dan Juli dengan mewawancarai saksi-saksi dan Melkianus.
Meskipun pada laporan Komnas HAM menyatakan, Marius telah dipukuli dan aparat polisi menggunakan kekerasan secara berlebihan, laporan itu justru menyimpulkan, tidak ada bukti yang menguatkan kalau penyerangan itu ikut memberikan dampak pada kematian Marius.
‘Kemungkinan realistis bahwa kematian karena secara langsung oleh suatu penyerangan’
Hasil visum yang jadi dasar bagi kepolisian dan Komnas HAM dalam membuat kesimpulan, menunjukkan, dokter Klinik Camp 19 memang tidak menemukan ada memar atau luka. Namun, hasil visum itu juga menyatakan bahwa, dokter tidak dapat mengonfirmasi penyebab kematian karena tak melakukan pemeriksaan internal.
Dr. Hamilton yang pernah memberi kesaksian sebagai ahli pada persidangan untuk kasus pembunuhan, mengatakan, keterbatasan terkait pemeriksaan post-mortem berarti pemeriksaan medis itu tidak dapat mengesampingkan ada hubungan antara dugaan penyerangan dan kematian Marius.
Dr. Hamilton menekankan, pada berbagai kemungkinan yang menyebabkan kematian, mulai dari organ dalam pecah karena pukulan yang tak meninggalkan memar atau luka luar, sampai pada paru-paru rusak karena patah tulang rusuk yang kemungkinan karena serangan seperti yang diutarakan para saksi.
Dia bilang, ada “kemungkinan realistis bahwa kematian karena secara langsung oleh suatu penyerangan.”
Emanuel Gobay, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, mengatakan, seharusnya laporan hasil visum tak jadi bukti kalau dugaan penyerangan tidak menyebabkan Marius tewas. Menurut dia, karena bukti itu tidak keluar dari dokter forensik.
“Yang bisa melakukan itu (adalah) dokter di rumah sakit, beda dengan dokter di klinik,” katanya dalam sebuah wawancara.
“Apalagi ini orang meninggal. Kalau orang lecet, masih mending. Ini orang meninggal, masa bisa dibedah oleh seorang (petugas) medis. Atau, bahkan si (petugas) medis itu kemudian bisa diyakini bahwa itu keterangan visum et repertum.”
Hal lain yang menambah kecurigaan kalau kematian terkait penganiayaan, adalah pernyataan Okto, adik laki-laki Marius. Dia bilang, kalau Marius diserang kedua kalinya sebelum tewas.
Okto memberi tahu bahwa Marius sempat pergi ke kantor polisi untuk meminta agar alat berburu dikembalikan. Busur dan anak panah milik Marius itu disita Melkianus saat pertikaian terjadi di depan kantor perusahaan.
“Ternyata si pelaku yang tadi hantam ini, (ber-)pikir (Marius) ini datang mau ancam dia,” kata Okto. “Ya sudah, dia keluar (dan) dia hajar betul sudah.”
Okto yakin, serangan kedua yang menyebabkan Marius menghembuskan napas terakhir. Jadi, penyebabnya bukan karena dugaan serangan pertama di luar kantor perusahaan.
Kepolisian tidak merespon permintaan kami tentang dugaan serangan kedua itu. Melkianus pun tidak dapat dihubungi untuk bisa melontarkan tanggapan.
Mengkonfrontasi impunitas
Kami menelaah soal keberadaan rekaman CCTV atas dugaan penyerangan itu dari investigasi berbeda yang pernah kami lakukan sebelumnya dan terbit Juni lalu soal bisnis dan operasi Korindo Group di Papua. Korindo Group merupakan perusahaan dengan konsesi kayu dan perkebunan sawit terbesar di provinsi yang dulu bernama Irian Jaya itu.
Gerakan yang menuntut keadilan dan pro-kemerdekaan terhadap Papua yang lahir sejak 1965, memicu reaksi keras dari aparat keamanan Indonesia. Kondisi ini, memunculkan berbagai tuduhan atas tindak kekerasan maupun pelanggaran HAM yang membebaskan mereka dari tuntutan atau hukuman (impunitas).
Pada Februari 2019, para ahli HAM dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan untuk penyelidikan segera dan tidak memihak terhadap berbagai kasus dugaan pembunuhan, penangkapan yang melanggar hukum. Juga perlakuan kejam, tak manusiawi, dan merendahkan martabat orang asli Papua oleh polisi dan militer Indonesia.
Investigasi yang kami lakukan sebelumnya, mengindikasikan, kehadiran polisi dan militer terus-menerus, menghalangi orang asli Papua menolak Korindo Group di rumah mereka. Namun, Korindo Group membantah ada hubungan tidak benar dengan aparat kepolisian.
Mereka bersikeras mengutarakan bahwa mereka sudah memperlakukan masyarakat secara adil, menyediakan layanan kesehatan, dan memberikan berbagai manfaat.
Kami juga mengirimi surat kepada Korindo Group dan Polres Boven Digoel kemudian meminta mereka bersedia memberikan salinan rekaman CCTV kepada kami.
Kwangyul Peck, Chief Sustainability Officer Korindo Group, menjawab surat elektronik kami dengan mengatakan, perusahaan telah menjalin komunikasi langsung dengan keluarga korban dan tak merasa perlu melibatkan The Gecko Project maupun Mongabay dalam persoalan ini.
Korindo Group mengeluarkan rilis memberi respon laporan Komnas HAM. Korindo bilang, perusahaan telah “terbebas… dari segala tuduhan kesalahan.”
Mereka pun mengaku telah memberikan keluarga Marius uang Rp200 juta dan sebuah rumah “sebagai wujud bantuan kemanusiaan.”
Okto Betera mengatakan dalam sebuah wawancara, akan meminta kepolisian merilis rekaman video kejadian itu kepada keluarga. Kapolres Boven Digoel AKBP Syamsurijal mengatakan, kalau keluarga meminta dan ingin menyaksikan rekaman video CCTV itu, polisi akan mengizinkan mereka melihat.
“Melihat bisa, tapi tidak boleh meminta,” kata Syamsurijal pada kami lewat sambungan telepon. “Karena ini kan proses penyidikan.”
Emanuel mengatakan, seandainya kepolisian menolak membuka rekaman video, justru akan menimbulkan kecurigaan soal niatan mengubur kasus itu.
“Kita tahu di Papua sudah banyak kasus impunitas,” kata advokat LBH Papua itu. “Sebagai penegak hukum, seperti kami advokat dan polisi, sangat tidak profesional apabila misi kita mengaburkan [fakta] karena itu akan menghilangkan hak korban dalam mendapatkan keadilan.”
Veronica Koman pun menilai, dengan merilis rekaman CCTV, dapat membantu penyelidikan berjalan sepatutnya.
“Ini kasus yang sudah terbukti. (Tapi) kalau dari pengalaman lalu, memang selalu (terkait dengan) impunitas. Banyak yang jadinya tidak diinvestigasi sampai selesai,” kata Koman. “Kalau dibuka ke publik, akan mendorong transparansi atas proses penyidikan kasus itu. (Tapi) saya sangsi polisi mau membuka itu.”
“Papuan Lives Matter”
Di Amerika Serikat (AS), rilis rekaman video kekerasan oleh polisi, telah memainkan peran sentral dalam Gerakan Black Lives Matter. Dari situlah muncul tuntutan terhadap reformasi radikal guna mengakhiri impunitas.
Gerakan ini juga bergema di antara orang asli Papua. Mereka etnis minoritas di Indonesia. Mereka melihat ada kesamaan dari pengalaman rasialisme sistemik dan kekerasan polisi yang terjadi kepada orang kulit hitam di Amerika Serikat.
Setelah protes anti-rasialisme sebelumnya muncul di Papua pada akhir 2019, orang asli Papua pun kembali bergerak dengan slogan “Papuan Lives Matter”.
Sirkulasi berbagai rekaman video yang menampilkan insiden berupa kekerasan oleh polisi, menjadi hal fundamental dalam menantang narasi awal terhadap bagaimana peristiwa-peristiwa ini tergambar. Terlebih, saat George Floyd, pria Afrika-Amerika berusia 46 tahun, tewas pada Mei lalu. Persis dua minggu setelah kematian Marius Betera-di mana kepolisian mengklaim bahwa keadaan darurat medis sebagai penyebab kematiannya.
Tak lama berselang, video yang direkam seseorang di tempat kejadian perkara, muncul dengan memperlihatkan bagaimana petugas polisi tengah mengunci leher Floyd dengan lututnya. Aksi ini memancing gelombang protes besar-besaran di seluruh negeri Paman Sam.
Dalam berbagai kasus sebelumnya di Amerika Serikat, kepolisian kerap berpendapat, mereka tidak bisa merilis rekaman video karena alasan privasi atau potensi mengganggu penyelidikan. Namun, Jay Stanley, analis kebijakan senior di American Civil Liberties Union, — yang telah bekerja secara ekstensif dalam kasus-kasus yang melibatkan kamera badan yang dipasang pada tubuh polisi (police body camera) — mengatakan, kalau pertimbangan terpenting mengenai itu, adalah publik dapat menyaksikan bagaimana aparat pemerintah yang berwenang, menggunakan kekerasan dengan dalih tindakan itu dilakukan atas nama negara.
“Kepentingan publik terhadap keterbukaan dari informasi kasus itu, sangatlah penting,” kata Jay dalam sebuah wawancara.
Untuk melihat artikel dan foto lain maupun menyaksikan film yang kami produksi, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Silakan bergabung ke dalam milis (mailing list) kami dengan mendaftar di sini.