Pembelajaran sukses bagi gerakan rakyat membangun kampanye sosial
Pada bulan ini, The Gecko Project dan Mongabay menerbitkan sebuah tulisan panjang berjudul “#SaveAru: Pertempuran Panjang Menuju Kemenangan Gerakan Rakyat”. Artikel tersebut mengulas secara detil keberhasilan perjuangan rakyat di Kepulauan Aru, Maluku, termasuk Masyarakat Adat, dalam upaya menggagalkan proyek perkebunan tebu berskala raksasa.
Untuk menghentikan proyek tersebut, mereka harus menghadapi rintangan yang tidak kecil. Pondasi demokrasi di Indonesia tampaknya masih belum sekokoh yang dibayangkan setelah melampaui tiga dekade pemerintahan militer. Kepentingan bisnis dapat merangsek dan mencaplok tanah-tanah adat. Maka, tidak mengherankan untuk mengetahui bahwa negeri ini dipenuhi dengan berbagai persoalan tumpang tindih izin-izin pertambangan dan perkebunan yang memicu ribuan konflik agraria.
Baca #SaveAru: Pertempuran Panjang Menuju Kemenangan Gerakan Rakyat
Kala itu, masyarakat Aru hampir saja terlambat untuk menyadari bahwa sesungguhnya ruang hidup mereka sedang dirampas. Mereka tak tahu menahu mengenai kehadiran proyek perkebunan tebu yang secara diam-diam dimuluskan oleh seorang politisi yang kemudian dipenjara karena korupsi. Seandainya proyek tersebut tetap dilakukan, maka luasan hutan yang setara dengan dua kali Pulau Bali di Aru itu akan berganti wajah menjadi hamparan tanaman tebu. Bagi Masyarakat Adat di sana, hutan memiliki arti penting yang menjadi sumber penghidupan bagi puluhan ribu orang.
Untuk menyelamatkan hutan di Aru, masyarakat bersama para aktivis dan pendukungnya melakukan berbagai upaya untuk mendesak pemerintah agar membatalkan proyek tersebut. Berikut ini adalah sejumlah pembelajaran yang bisa kita gali dari kesuksesan mereka.
Saat masyarakat Aru mencium rencana proyek perkebunan untuk pertama kalinya, mereka melakukan demonstrasi dengan membanjiri jalan-jalan di Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru. Pada awalnya, tak ada perhatian sama sekali dari luar Aru terhadap aksi protes yang telah dilakukan dan mereka pun menghadapi tantangan terkait dengan sarana maupun media komunikasi. Setelah protes dimulai, sekelompok tim aktivis dari Ambon bergabung dengan gerakan mereka di bawah kepemimpinan seorang pendeta yang berpengaruh bernama Jacky Manuputty. Tim kampanye kemudian membuat situs web serta Facebook dan Twitter dengan nama sesuai tagar kampanye mereka, yakni #SaveAru. Untuk selalu memperbaharui informasi dan konten kampanye, tim pun pergi ke Aru yang berjarak sekitar 700 kilometer melintasi Laut Banda. Bapak Pendeta mengirim sepasang wartawan Ambon ke Dobo untuk mengajari para aktivis lokal memproduksi berita yang akan disebarluaskan melalui media sosial.
Untuk mendapatkan informasi langsung dari lapangan, mereka berhadapan dengan persoalan logistik yang menantang, yaitu keterbatasan sinyal telepon dan ketiadaan koneksi Internet. Maka, tak ada pilihan bagi mereka untuk kembali menggunakan cara-cara lama. Pesan berupa tulisan tangan dari kampung-kampung harus dikirim terlebih dulu ke Dobo dengan perahu, lalu rekan-rekan mereka akan melanjutkan pesan tersebut melalui SMS ke tim di Ambon. Dalam beberapa minggu kemudian, tim di Ambon akan mengolah dan menyebar berita, foto, dan info grafis lainnya melalui media sosial. Mereka juga dapat mengumpulkan umpan balik maupun dukungan dari luar Aru melalui media sosial. Hal itu sangat penting untuk menguatkan para aktivis lokal bahwa perjuangan mereka dilihat dan didukung oleh banyak orang. Tim kampanye juga mencetak spanduk raksasa yang bergambar berbagai foto orang-orang dari seluruh dunia sedang memegang pesan bertuliskan #SaveAru melalui Twitter. Spanduk tersebut diarak di jalan-jalan utama di Dobo. Hanya dalam beberapa bulan, mereka telah memiliki sistem yang meluaskan kisah perjuangan masyarakat Aru. Dari situ, mereka mendapat banyak dukungan dari orang-orang di luar Aru, bahkan di luar Indonesia.
Dari awal, informasi mengenai proyek perkebunan tebu memang samar. Perusahaan misterius bernama Menara Group disinggung ada di belakang proyek itu. Tetapi, masyarakat Aru dan para aktivis pendukungnya tidak tahu seberapa jauh proses perizinan atau skala proyek yang sebenarnya. Untuk menjawab berbagai teka-teki, tim yang dipimpin oleh Bapak Pendeta Jacky pun melakukan investigasi sendiri. Mereka mencari kontak orang-orang di dalam pemerintah dan menelusuri petunjuk lewat Internet. Mereka menemukan bahwa izin-izin perkebunan tebu telah dikeluarkan pada 28 perusahaan yang seluruhnya dikendalikan oleh Menara Group.
Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki direktur yang berbeda dan bahkan terdaftar di alamat yang palsu di Jakarta. Para aktivis menaruh curiga pada struktur perusahaan yang rumit dan tampaknya sengaja dirancang untuk mengelabui aturan terkait batasan konsesi yang bisa dipegang oleh satu perusahaan. Temuan mengejutkan lainnya, adalah keterlibatan mantan Bupati Theddy Tengko dalam memuluskan proses perizinan. Theddy telah mengeluarkan izin sebelum perusahaan menuntaskan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Hal itu merupakan suatu pelanggaran.
Para aktivis menyadari bahwa perjuangan Aru adalah tugas yang tidak enteng. Mereka harus bisa mempengaruhi pejabat-pejabat yang berwenang terkait dengan proses perizinan konsesi perkebunan tersebut. Sejumlah pejabat setempat telah mengeluarkan izin-izin. Sementara itu, Menteri Kehutanan yang kala itu menjabat, Zulkifli Hasan, tampaknya juga hendak menandatangani izin yang akan menjadi tiket bagi Menara Group untuk menuntaskan segala urusan. Para aktivis tampaknya menyadari bahwa akan sangat sulit untuk mereka bisa mempengaruhi para politisi, maka mereka pun terfokus pada upaya untuk menekan lembaga-lembaga terkait yang diharapkan secara tidak langsung juga mendesak politisi maupun pejabat untuk menghentikan proyek perkebunan. Salah satu lembaga yang menjadi sasaran itu adalah Universitas Pattimura (Unpatti) di Ambon di mana para dosen di dalamnya kemudian turut membantu untuk memberikan argumen akademis terhadap penolakan proyek. Para aktivis juga menggalang dukungan Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai institusi keagamaan paling berpengaruh di Maluku. Tentu saja hal itu tidaklah mudah sebab mereka harus berusaha keras dengan menggalang dukungan publik untuk menekan lembaga-lembaga tersebut. Para aktivis juga menggunakan melalui media sosial untuk lebih kuat lagi mendesak lembaga-lembaga tersebut akhirnya mau menyatakan dukungannya terhadap perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Aru.
Meski Theddy Tengko telah mengeluarkan izin tanpa didahului dengan AMDAL, tetapi kemudian Menara Group menyewa tim konsultan untuk melakukan penilaian. Dokumen yang dihasilkan memang menyinggung dampak negatif yang besar pada aspek sosial dan lingkungan. Namun, alasan positif dari proyek tersebut justru yang dijadikan penegasan, sehingga seolah mengalahkan pertimbangan terhadap dampak negatifnya di mana itu menekankan pada aspek ekonomi yang mengatakan bahwa proyek akan membuka lapangan pekerjaan dan peluang bisnis. Para akademisi Unpatti pun membantu kampanye dengan terus mengekspos klaim perusahaan. Mereka menyoroti bahwa pengrusakan hutan akan berdampak langsung pada hilangnya mata pencaharian masyarakat, sedangkan serapan tenaga kerja untuk perusahaan hanya akan terbuka bagi orang-orang dari luar Aru yang tak punya tanah. Bahan-bahan kimia yang bakal digunakan secara masif untuk menumbuhkan tanaman-tanaman tebu, juga akan mencemari sungai dan laut. Perkebunan monokultur berskala besar pun akan menyedot cadangan air tanah yang terbatas serta mengancam kelangsungan hidup satwa endemik di Aru, seperti burung cendrawasih dan kasuari. Maka, selain menyasar pada aspek ilegalitas perizinan, tim kampanye juga turut menyebarluaskan perhatian terhadap aspek lingkungan. Sehingga, hal tersebut turut memberatkan para pejabat berwenang untuk berkata setuju pada pembangunan proyek perkebunan dengan mempertimbangkan dampak buruk yang kelak ditimbulkan. Kemudian, Menteri Kehutanan berkata bahwa ia akan stafnya untuk melakukan review terhadap AMDAL sampai akhirnya memutuskan untuk membatalkan proyek tersebut.
Untuk dapat memiliki amunisi dalam perang informasi, para aktivis menempatkan sejumlah informan mereka di setiap lembaga penting di Aru dan Ambon. Usaha itu tidak sia-sia. Mata-mata mereka di kantor Pemerintah Provinsi Maluku berhasil mendapatkan salinan izin-izin yang melandasi proyek perkebunan tebu. Kaki tangan mereka yang lain juga diam-diam membocorkan foto-foto yang menampilkan anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Aru sedang mengunjungi kantor Menara Group di Jakarta beberapa kali. Dan yang paling mengesankan, adalah bukti adanya “rapat gelap” antara Plt. Gubernur Provinsi Maluku dan CEO Menara Group di Pangkalan TNI AL di Aru Selatan. Seorang warga desa setempat yang bertugas menyuguhkan kopi pada pertemuan rahasia itu, diam-diam mengambil foto dengan telepon genggamnya. Ia yang pula bersimpati pada perjuangan Aru, lantas menyalurkan foto-foto tersebut kepada aktivis di Dobo dan dengan cepat menyebarluaskannya secara online (daring). Seorang informan lain juga mengabarkan bahwa pada pertemuan itu, Gubernur Saut Situmorang telah berucap bahwa Kepulauan Aru “hanya hamparan alang-alang” untuk meyakinkan pihak Menara Group agar mulai beroperasi dalam waktu dua bulan. Informasi tentang itu menginspirasi para wartawan di Ambon untuk membuat berita.
Meskipun aksi protes terhadap Menara Group telah dilakukan di Dobo sebagai ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, namun kawasan yang didiami oleh sekitar 80 ribu penduduk itu tidak tahu banyak mengenai rencana proyek perkebunan tebu. Sebagian warga yang tinggal di kampung-kampung pedalaman Aru dan sempat bertemu dengan tim surveyor Menara Group, mendapat iming-iming bahwa kehadiran perusahaan akan memperbaiki taraf kesejahteraan mereka. Untuk menangkal hal tersebut, para aktivis di Dobo pun bergerilya ke segala pelosok untuk memberikan peringatan kepada penduduk tentang proyek perkebunan dan memberikan informasi tentang akibat yang sebenarnya bakal terjadi. Mereka mengumpulkan pernyataan penolakan yang ditandatangani oleh para tetua adat dan masyarakat di 90 desa dari 117 desa yang ada di Aru. Dan untuk menegaskan bahwa tanda tangan yang berhasil dikumpulkan itu tidak mengada-ngada, mereka juga memotret dan memfilmkan masyarakat yang turut bertanda tangan pada petisi tersebut. Salinan buku kumpulan tanda tangan itu kemudian dikirimkan kepada pejabat pemerintah. Upaya tersebut tetap dilakukan para aktivis meski terdapat serangan balik dari pihak perusahaan terhadap mereka.
Perlawanan masyarakat Aru berakar pada identitas Masyarakat Adat dan hukum adat mereka. Dan hal itulah yang meneguhkan prinsip mereka untuk melawan kekuasaan negara. Sikap itu tercermin dari pemberlakuan sasi (larangan adat) yang dilakukan oleh tokoh perempuan adat dan pihak gereja sebagai landasan protes. Mereka menyadari bahwa kebudayaan Aru secara langsung terhubung dengan alam. Alam yang lestari dan mereka miliki, adalah pula suatu kebanggaan. Argumen itulah yang menguatkan, tapi pula bertolak belakang dengan pandangan pemerintah dan perusahaan yang berpendapat bahwa untuk “membangun” masyarakat dan wilayah, maka mereka harus menyerahkan tanah dan hutan adat mereka. Masyarakat Aru menolak opini yang mengatakan kalau orang Aru itu miskin dengan kekayaan alam yang melimpah dan mereka miliki, baik itu hutan, sungai, dan laut. Perdebatan tentang itu pecah kala seorang perwakilan perusahaan memperingatkan agar masyarakat Aru jangan jadi pengemis bermangkuk emas. Mereka membantah dengan menyahut bahwa pihak perusahaan-lah yang sebetulnya adalah pengemis.
Kelompok perempuan Aru memainkan peran sentral dalam gerakan perjuangan di Aru. Mereka turun ke jalan selama berminggu-minggu untuk memprotes para pejabat yang memberikan lampu hijau terhadap proyek maupun penolakan terhadap proyek perkebunan tersebut. Perempuan-perempuan yang berdagang sayur di pasar juga turut menyumbangkan makanan dan memasok kebutuhan lainnya bagi para demonstran. Para mama bahkan bergabung dalam aksi dan merekalah yang berhadap-hadapan dengan para polisi. Tetua adat perempuan juga memberlakukan sasi khusus di mana jika ada yang melanggar larangan itu, maka artinya ia telah menghina kehormatan perempuan Aru. “Jika kamu merobohkannya, maka kamu menelanjangi para perempuan Aru, baik itu ibu kandungmu sendiri maupun ibu-ibu yang sudah berambut putih,” kata Anatje Siarukin, seorang pemimpin yang terlibat dalam pemberlakuan sasi pada pintu masuk Gedung DPRD Kabupaten Kepulauan Aru. “Ini adalah kain yang kita gunakan untuk menutupi diri kita sendiri. Siapa pun yang berani melanggarnya, berarti mengundang pertumpahan darah.” Peran strategis perempuan, baik itu di jalanan maupun di balik perjuangan, dilihat sebagai kunci penting dari gerakan.
Dukungan dari orang-orang di luar Aru, khususnya para aktivis kawakan dari Kota Ambon, memang memegang peran penting bagi keberhasilan kampanye. Pada puncaknya, mereka juga beraliansi dengan dua organisasi besar pada level nasional, yaitu Forest Watch Indonesia (FWI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Mereka juga mampu menarik perhatian dunia sebagai sesuatu yang patut dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan sorotan internasional. Tetapi, para aktivis juga bekerja bersama masyarakat Aru di mana mereka tetap memiliki otoritas sebagai pemimpin bagi gerakan Aru sendiri. Para aktivis menyadari risiko bahwa jika hal itu tidak dilakukan, maka para aktivis dapat diberangus dengan label “orang luar” yang menjadi provokator. Mereka juga memahami bahwa kampanye yang dilakukan bukan atas kepentingan LSM atau organisasi, melainkan mewakili langsung kepentingan masyarakat Aru. Gerakan Aru memiliki keseimbangan yang baik dalam menggalang dukungan sekaligus mengelola kontrol terkait dengan persepsi publik. Setiap orang yang terlibat dan berperan dalam gerakan, tidak dibayar satu rupiah pun. Pendeta Jacky Manuputty mengatakan bahwa semangat kesukarelawanan merupakan bagian dari keberhasilan mereka. “Dalam banyak gerakan advokasi lingkungan, masyarakat diwakili lebih banyak oleh LSM yang datang dan mendukung mereka,” kata Jacky. “Sehingga mereka menjadi sangat rapuh. Dalam tekanan yang dilakukan kemudian kepada masyarakat, mereka akan hancur dan pecah di bawah.”
Terlepas dari temuan para aktivis terkait ilegalitas perizinan, mereka masih tidak percaya bahwa sistem peradilan akan meresponnya secara efektif. Meski begitu, para aktivis menjadikan hal tersebut sebagai landasan untuk menekan pemerintah agar segera membatalkan proyek perkebunan tebu berskala raksasa di Aru. Mereka secara konsisten menggunakannya untuk menggugat kelayakan proyek. Pada akhirnya, para aktivis menempatkan para pejabat pada kemungkinan yang seolah tanpa pilihan, termasuk Menteri Kehutanan yang menjabat kala itu.
Pembuktian itu sangat jelas mengacu pada perizinan yang ilegal, sehingga bagaimana mungkin prosesnya bisa diteruskan oleh pejabat lain untuk sampai pada tahap perizinan lanjutan di mana KPK pun telah mengetahui kasus tersebut. Maka, itulah yang kemudian membuat izin akhir tidak dapat keluar. Menara Group tidak mampu mendapatkan tiket bagi buldoser-buldoser perusahaan menghancurkan hutan yang menjadi ruang hidup bagi puluhan ribu masyarakat di Kepulauan Aru.
Berbagai artikel, foto, maupun video yang diproduksi oleh The Gecko Project, tersedia juga pada media sosial kami, antara lain Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Kamu juga bisa terhubung dengan kami melalui milis (mailing list) di sini.