Rita Widyasari, mantan Bupati Kutai Kartanagara kena vonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 2018 atas kasus suap proyek perkebunan dan pertambangan. Vonis hukum kepada kepala daerah dari Kalimantan Timur ini menegaskan taring KPK terhadap penanganan kasus korupsi di Indonesia.
Sejak terbentuk 2004, investigasi perkara oleh KPK berujung pada vonis terhadap sejumlah pejabat maupun politisi yang terbukti korupsi. Namun, berdasarkan penelitian KPK, peneliti, aktivis, dan jurnalis, menunjukkan, persoalan yang dihadapi sesungguhnya melampaui kasus-kasus yang sudah diseret ke pengadilan.
Izin-izin proyek perkebunan dan pertambangan terus menjamur di Indonesia dalam periode sama. Sebagian sah secara hukum, sebagian lain, tak selalu dapat dibuktikan keabsahannya. Hal ini merupakan obyek menarik dan penting untuk investigasi oleh kalangan jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil.
Bagi mereka yang tak memiliki kewenangan sebesar KPK, menelusuri bukti korupsi dalam proses perizinan, adalah hal menantang. Dalam investigasi kami, The Gecko Project dan Mongabay, selama tiga tahun terakhir, terdapat temuan yang memperlihatkan tanda peringatan terhadap proses perizinan.
Gelagat ini mengarah pada potensi berbagai tindakan yang sepatutnya dicurigai. Serangkaian izin dan cara bagaimana izin-izin itu diperdagangkan oleh perantara (broker) dan investor, menorehkan jejak-jejak yang sesungguhnya dapat ditelusuri untuk menemukan beragam petunjuk.
Artikel ini menjelaskan, lampu merah terhadap korupsi pada proses perizinan itu, beragam temuan, dan rincian metode yang dapat mengidentifikasi hal ini. Meski masing-masing tidak selalu dapat memberikan bukti korupsi yang tak terbantahkan, namun tanda-tanda itu dapat memandu arah maupun memberikan informasi lanjutan untuk menyibak penelusuran kasus di area lain. Ia akan memberikan konteks terhadap persoalan konflik hak tanah, kriminalisasi, perusahaan yang beroperasi ilegal, dan lain-lain. Juga, mengidentifikasi praktik-praktik yang patut dipertanyakan dalam proses perizinan dan jual-beli izin-izin pada perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Terdapat dua macam informasi utama yang perlu digunakan terkait metode yang dibahas ini, yakni, data kepemilikan atau pemegang saham perusahaan (sebagai pemegang/pemilik izin) dan data perizinan.
Kehadiran rambu-rambu bahaya bisa teridentifikasi dengan saling mengecek silang informasi terkait dan kedua data ini.
Data kepemilikan perusahaan dapat diperoleh dengan mengakses pada data perseroan terbatas yang terdapat pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhukham).
Masyarakat dapat memperoleh profil perusahaan beserta informasi terkini para pemegang saham dan dewan direksi (dengan biaya Rp50.000) atau informasi detil berupa daftar nama-nama pemegang saham dan direktur sejak perusahaan dibentuk (dengan biaya Rp500.000). Untuk investigasi, informasi yang lengkap mengenai perusahaan akan sangat berguna.
Secara teori, data perizinan bisa diperoleh dari lembaga negara tetapi dalam beberapa tahun terakhir, tampaknya pemerintah berupaya menghambat masyarakat, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil mengaksesnya. Padahal, Indonesia telah memiliki Undang-undang №14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Pada praktiknya, bisa saja data sama diperoleh dari sumber-sumber lain. Ada banyak organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), terutama yang berkantor di provinsi, memiliki set data terkait izin-izin perkebunan dan pertambangan. Meski terkadang tak selalu lengkap dan akurat, namun informasi tentang itu dapat pula memenuhi metode yang sedang kita bicarakan ini.
Sebagian besar perusahaan induk (holding company) yang mengoperasikan perkebunan dan pertambangan di Indonesia terdaftar di bursa saham, biasa di Indonesia, Malaysia atau Singapura.
Ketika memperoleh aset baru, mereka mempunyai kewajiban mengumumkan rincian transaksi melalui situs bursa saham. Biasanya, pengumuman ini mencakup identitas penjaja (vendor), informasi mengenai izin (konsesi) yang secara efektif dibeli, dan nilai transaksi. Dari situlah kita dapat menemukan serangkaian data yang lengkap dan kaya.
Sebelum mulai beroperasi, perusahaan memerlukan waktu beberapa bulan untuk melampaui berbagai tahapan proses birokrasi. Pertama, perusahaan harus mendapatkan izin lokasi dari kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, seringkali adalah bupati.
Hal itulah yang kelak menentukan area lahan di mana perusahaan akan negosiasi dengan kewenangan pemilik lahan dan pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Proses amdal sendiri memerlukan konsultasi dengan masyarakat lokal yang akan terkena dampak proyek. Temuan terhadap hal ini, harus ditinjau oleh tim yang terdiri dari kalangan akademisi, organisasi masyarapat sipil (LSM), dan perwakilan masyarakat. Setelah peninjauan amdal, barulah perusahaan perkebunan dapat mengajukan permohonan izin usaha perkebunan (IUP). IUP dikeluarkan oleh pemerintah daerah, biasa pemerintah kabupaten, bisa oleh pemerintah provinsi.
Dalam sejumlah kasus, bupati mempercepat perizinan. Ketika itu dilakukan, sebetulnya amdal sedang dipertaruhkan. Salah satu alasan mengapa izin-izin dipercepat, karena tahapan birokrasi yang sesuai aturan hukum itu memerlukan waktu dan biaya tak sedikit.
Sisi lain, kalau tahapan dengan benar, akan membuka peluang bagi partisipasi masyarakat maupun LSM guna mengutarakan kepentingan mereka terkait lokasi, luasan, dan dampak proyek.
Kita bisa mengatakan, mempercepat proses perizinan dengan melompati salah satu atau lebih dari tahapan, adalah pelanggaran tindak pidana menurut UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Izin-izin yang keluar dengan tergesa-gesa pun mengundang pertanyaan terkait motif yang melatarbelakangi itu.
Kalau dugaan pelanggaran terjadi, kita dapat mengidentifikasi dengan membandingkan tanggal izin lokasi dan IUP yang keluar. Sebab, terdapat indikasi proses amdal yang belum dilakukan seandainya kedua izin diterbitkan hanya dalam beberapa minggu. Dalam banyak kasus, database terkait perizinan bisa menunjukkan fakta, izin-izin sudah keluar di hari sama.
Tabel di bawah ini adalah potongan dokumen yang diperoleh dari database Pemerintah Kalimantan Tengah yang menampilkan rekaman informasi sebuah perusahaan yang memperoleh IUP satu hari saja setelah mendapatkan izin lokasi. Temuan ini menguatkan dugaan, kepala daerah telah melangkahi tahapan penting dalam proses perizinan.
Perusahaan perkebunan bebas mengajukan izin langsung kepada pemerintah daerah. Dalam banyak kasus, awalnya izin justru melalui perantara atau broker dengan tujuan diperdagangkan kembali.
Secara teknis, izin untuk perkebunan tak dapat beralih dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Namun, ada celah untuk bisa mengarahkan demikian. Untuk transaksi itu, seorang perantara dapat membentuk perusahaan cangkang, — suatu badan hukum yang hanya tertera di atas kertas, namun tanpa aset atau riwayat dagang apa pun — hingga izin bisa terbit. Ia kemudian bisa menjual perusahaan cangkang bersama dengan izin yang dipegangnya kepada investor yang berniat mengembangkan lahan.
Daya tarik untuk broker itu sangat jelas. Mereka dapat menciptakan aset bernilai jutaan dolar hanya dengan memperdagangkan selembar izin. Mereka juga menggali koneksi dengan politisi berwenang dalam menerbitkan izin dan korporasi yang menginginkan konsesi.
Dalam sejumlah kasus, seorang broker bisa jadi adalah kaki-tangan atau sosok yang mewakili politisi. Seperti seorang jaksa KPK pernah memberi tahu kami bahwa tanpa menggunakan orang semacam itu, sama saja dengan bunuh diri kalau politisi menaruh nama mereka sendiri di perusahaan. Sengan begitu, niatnya untuk memperkaya diri malah akan makin jelas.
Dengan menempatkan nama keluarga atau kerabat maupun rekanan pada akta perusahaan dan menggunakan sebagai proksi untuk suatu transaksi, mereka masih dapat memegang kendali pada perputaran pundi-pundi dalam jual-beli konsesi sekaligus terhindar dari deteksi.
Sinyal ‘lampu merah’ dapat teridentifikasi dengan memeriksa kapan perusahaan dibentuk dan perubahan terhadap kepemilikan perusahaan, baik melalui profil perusahaan yang diperoleh dari Kemenhukham maupun pengumuman pada bursa efek yang dicantumkan online (daring). Tanggal momentum itu dapat cek kembali dengan menyandingkan pada tanggal perusahaan memperoleh izin melalui sumber sama.
Kalau tanggal pembentukan perusahaan, lalu izin operasional dan penjualan perusahaan berada dalam waktu relatif sangat berdekatan, hal itu merupakan petunjuk kuat bahwa orang-orang di balik perusahaan sesungguhnya tidak betul-betul berniat mengembangkan perkebunan.
Tetapi, bisa saja itu sekadar menghadirkan “kendaraan” untuk menjual lagi konsesi yang telah diperolehnya. Meskipun praktik serupa tak selalu ilegal, namun hal itu seharusnya membuat kita bertanya-tanya mengenai motif penerbitan izin kepada perusahaan seperti itu. Tentu saja, terdapat kemungkinan bahwa ada orang-orang yang akan mendapat keuntungan dengan cara yang tidak benar.
Pengumuman bursa tahun 2012, menunjukkan bagaimana tiga orang broker membentuk sebuah perusahaan pada Maret 2012, lantas memperoleh izin sekitar empat bulan setelah itu, tepatnya 18 Juli 2012. Kemudian, menyetujui suatu kesepakatan menjual hampir seluruh saham mereka di perusahaan itu dengan selang waktu satu bulan saja, yakni, 29 Agustus pada tahun sama.
Kami pun telah menerbitkan dua artikel investigatif yang menjelaskan bagaimana modus jual-beli konsesi seperti yang kami utarakan itu, dimanfaatkan oleh para politisi bersama kerabat dan kroninya. Transaksi itulah yang tampak digunakan-secara langsung atau tidak langsung-menguntungkan mereka sendiri.
Ketika transaksi lahan menyeret nama-nama anggota keluarga maupun rekanan politisi, mereka mungkin bertindak atas nama politisi itu sendiri. Hal ini untuk menyamarkan fakta, si politisi-lah yang berperan sebagai penerima manfaat yang sebenarnya. Kita bisa katakan hal yang demikian adalah nepotisme. Di Indonesia, praktik ini dapat ditindak pidana.
Para vendor dalam transaksi lahan mungkin dapat ditelusuri melalui pengumuman bursa saham. Penelitian online atau wawancara dengan orang-orang yang memahami lanskap maupun situasi politik lokal di daerah terkait, juga dapat membantu kita dalam mengidentifikasi keterkaitan antara mereka yang menjajakan jual-beli izin dan pejabat-pejabat setempat.
Pada kasus yang kami singgung sebelumnya, pengumuman bursa saham memaparkan nama Cornelis N. Antun sebagai satu dari tiga orang yang membentuk dan menjual perusahaan yang tertera.
Berdasarkan catatan pengadilan dan berbagai pemberitaan, terungkap, Cornelis N. Antun adalah keponakan Hambit Bintih, tak lain adalah Bupati Gunung Mas di Kalimantan Tengah. Cornelis juga pernah bekerja sebagai bendahara kampanye untuk pemenangan Hambit dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Informasi pada pengumuman bursa saham itu menunjukkan bagaimana izin yang Hambit keluarkan, kemudian membuat perusahaan cangkang milik Cornelis itu mempunyai aset meroket hingga kurang-lebih Rp120 miliar.
Kadang-kadang, nama anak-anak bupati juga muncul sebagai pemegang saham di berbagai perusahaan cangkang yang digunakan dalam modus jual-beli izin. Praktik itu kami ulas secara lengkap pada artikel kami pada 2017 mengenai kehadiran perkebunan yang sangat masif di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Hasil kajian KPK, pakar politik, dan investigasi kami sendiri, telah memberikan bukti yang tak dapat disangkal lagi terhadap ada korelasi antara pembiayaan pemilu dan izin-izin perkebunan. Pertarungan untuk memperebutkan kursi kepala daerah sangatlah mahal. Seringkali, biaya kampanye melampaui ketersediaan dana yang diperoleh dari sumber sah.
Kita juga bisa mengidentifikasi banyak kasus di mana terdapat peluang bahwa transaksi jual-beli izin digunakan untuk pembiayaan kampanye politik dengan mengecek kapan izin tebit dan kapan perusahaan kemudian diperdagangkan. Ini pendekatan yang bisa dikatakan tidak sempurna. Ada alasan masuk akal mengapa praktik itu dilakukan menjelang pilkada.
Biasanya, makin dekat dengan waktu pencoblosan, perhatian terhadap itu kian beralasan.
Dalam kasus Hambit Bintih, dia sendiri adalah bupati petahana di Gunung Mas. Satu bulan sebelum akhir penetapan sebagai pemenang dan kembali menjabat pada periode kedua, izin usaha perkebunan perusahaan yang dimiliki keponakannya, Cornelis N. Antun, keluar pada 31 Juli 2013. Izin lain lantas terbit lagi hanya dalam waktu tujuh hari setelah pemungutan suara, pada 11 September 2013.
Laporan investigasi lain yang kami terbitkan baru-baru ini juga menunjukkan pola sama. Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko pun mengeluarkan serangkaian izin kepada satu perusahaan untuk pengembangan perkebunan gula raksasa kurun waktu kurang dari seminggu sebelum pemungutan suara yang memenangkan sebagai bupati petahana.
Proses perizinan ini merupakan potret bagaimana berbagai tahapan perolehan izin dilangkahi. Theddy memang dihukum kemudian atas tindak pidana korupsi, bukan kasus terkait hal itu.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), jaringan organisasi non-pemerintah dan organisasi komunitas untuk masalah pertambangan dan migas, telah menganalisis data perizinan di seluruh Indonesia. Di sejumlah kabupaten, Jatam menemukan ada lonjakan izin-izin baru untuk tambang pada tahun pilkada dan setahun setelahnya.
Perkebunan swasta di Indonesia memiliki batasan hingga 20.000 hektar. Perusahaan pun dapat memperoleh sejumlah lahan perkebunan melalui anak perusahaan yang berbeda sampai 100.000 hektar. Apa yang terjadi di Papua dan Papua Barat, justru mencapai hingga dua kali lipat untuk perusahaan yang beroperasi di sana. Total dua kali lipat itu justru diizinkan untuk perusahaan yang beroperasi di dua provinsi itu.
Saat ada banyak perusahaan swasta memperoleh izin di hari sama atau dalam waktu relatif singkat, itu indikasi ada kemungkinan perusahaan-perusahaan ini dikendalikan oleh pengusaha yang sama. Dalam beberapa kasus, para investor melakukan praktik serupa untuk dapat melampaui luasan area yang diatur hukum yang berlaku terhadap satu perusahaan.
Di Kepulauan Aru, misal, Bupati Theddy Tengko menerbitkan izin untuk satu grup perusahaan dengan jumlah lebih dua kali lipat luasan lahan yang seharusnya.
Bahkan, meski proyek-proyek itu berada di bawah batas yang ditetapkan, kasus-kasus ini tetap penting untuk mendapat perhatian atas dugaan korupsi lebih besar lagi.
Dengan mengeluarkan begitu banyak izin, seorang pejabat dapat meraup aset bernilai jutaan dolar melalui satu perusahaan saja. Itu pun bisa jadi menghasilkan berkali lipat keuntungan ketimbang hanya menerbitkan satu izin untuk cakupan yang luas.
Tabel berikut ini, adalah bagian dari database izin perkebunan dari Sulawesi Tengah. Dari situlah kita mendapatkan potret tentang apa yang baru saja kami jelaskan. Pada database, diketahui ada enam perusahaan yang memperoleh izin pada hari sama, yaitu, 29 Juni 2007.
Data ini menguatkan dugaan ada investor sama di balik izin-izin itu. Di saat sama, kepala daerah di sana pun telah pula menghasilkan aset yang luar biasa besar dan kemungkinan ilegal.
Potensi ilegal itu ditunjukkan oleh sinyal-sinyal lain. Merujuk pada database, dua dari perusahaan-perusahaan itu menerima IUP dan izin lokasi di hari sama, menguatkan indikasi bahwa proses perizinan mereka dipercepat dan amdal juga diabaikan. Dalam empat kasus lain, IUP keluar hanya berselang sekitar tiga bulan, bukan waktu yang ideal untuk proses.
Kala izin-izin itu keluar, terjadi di tahun sama dengan penyelenggaraan pilkada di Sulawesi Tengah pada 5 November 2007. Hal ini tidak memberikan bukti langsung terkait dugaan korupsi, melainkan penting dicurigai lebih lanjut untuk mengetahui apakah penerbitan izin-izin terkait modal kampanye politik selama pemilihan kepala daerah berlangsung. Langkah lanjutan, bisa dengan mengidentifikasi nama-nama pemegang saham perusahaan melalui daftar profil perusahaan pada Kemenhuk HAM dan penelitian mengenai keterhubungan mereka.
KPK sudah memvonis puluhan kepala daerah korup, mulai dari penerimaan suap, penipuan pengadaan, hingga penyelewengan anggaran. Banyak juga pejabat daerah mengeluarkan berbagai izin perkebunan dan pertambangan.
Dalam banyak kasus, meskipun para politisi itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tak otomatis membuat KPK menyelidiki izin-izin yang mereka keluarkan selama menjabat. Padahal, ada kemungkinan, izin-izin yang mereka terbitkan dengan cara korup.
Hingga kini, kami sudah merampungkan tiga investigasi terhadap bupati-bupati yang dihukum karena skema korupsi yang tidak terkait. Mereka juga tidak diam untuk mengatur proyek-proyek perkebunan yang penuh dengan ketidakwajaran.
Yusak Yaluwo, mantan Bupati Boven Digoel di Papua, mengambil selisih uang dari pengadaan kapal tanker, lantas di balik jeruji besi, Yusak menandatangani dokumen untuk proyek perkebunan berskala besar.
Theddy Tengko, Bupati Kepulauan Aru di Maluku, terbukti korupsi dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Rp42,5 miliar dan secara ilegal mengeluarkan IUP tanpa amdal. Kemudian, Hambit Bintih, Bupati Gunung Mas di Kalimantan Tengah, menyuap seorang hakim setelah dia mengeluarkan izin kepada bendahara kampanyenya maju pilkada periode kedua. Dalam dua kasus itu, izin-izin perkebunan itu tetap berlaku.
Memang, tak otomatis mengatakan, bahwa, kepala daerah korup pasti menimbun uang suap untuk menerbitkan izin-izin atau memperdagangkan melalui modus peminjaman nama pemilik perusahaan atau pemegang saham (nominee). Tetapi, kasus-kasus seperti itu perlu ditelusuri lebih lanjut.
Berbagai kasus korupsi juga meninggalkan banyak jejak yang dapat digunakan mendukung investigasi terhadap maraknya transaksi lahan.
Kalau kita melihat terbatas pada satu nyala ‘lampu merah’ saja, kita mungkin tak akan menemukan bukti kuat terhadap tindak pidana korupsi maupun bentuk pelanggaran lain.Kketika berbagai transaksi itu muncul dalam kasus sama, kita dapat melihat pola yang jauh lebih menarik. Meski demikian, hal itu perlu dilihat sebagai pintu masuk untuk mengembangkan gagasan atau ide terhadap arah dan gerak penelusuran lanjutan.
Investigasi lanjutan juga dapat digunakan untuk memberikan konteks dan pemahaman lebih baik terhadap berbagai persoalan lain yang tengah diselidiki oleh para aktivis dan jurnalis. Misal, mencari jawaban terhadap pertanyaan mengapa sebuah perusahaan secara konsisten dapat menghindari penegakan hukum untuk pembersihan lahan (clearing) di luar batas-batasnya. Atau, mengapa seorang pejabat lokal yang kuat atau berpengaruh justru gagal dalam mendukung masyarakat yang berupaya mencari keadilan setelah tanah mereka dirampas.
Pada akhirnya, penelusuran terhadap izin-izin dan jual-beli lahan dengan cara ini, merupakan suatu alat yang bisa digunakan untuk melacak aliran uang dan aset. Itu adalah proses yang penting agar tetap mampu memegang kekuatan untuk menemukan jawaban.
Ikuti halaman Facebook, Instagram dan Medium kami, untuk menerima berita terkait artikel, film dan foto cerita baru ketika dirilis.